PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah
sering disamakan dengan hadits, artinya semua perkataan, perbuatan, dan taqrir
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menyetujui perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabat, misalnya Kholid bin Walid memakan daging biawak,
Rasulullah SAW membiarkannya maka hal itu dikesani bahwa Nabi tidak
mengharamkannya.
Sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam kajian ushul fiqh,
as-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan al-Qur’an, oleh karena itu fungsi
as-Sunnah adalah penjelas, penafsir, menguat, penambah, dan pengkhusus berbagai
hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang masih global atau masih multitafsir
dan adapula yang masih mubham.
B. Rumusaan
Masalah
1. Apa pengertian Sunnah?
2. Apa macam-macam
Sunnah?
3. Bagaimana periwayatan
Sunnah?
4. Apa fungsi dari
Sunnah?
5. Bagaimana kedudukan
Sunnah sebagai sumber hukum?
C. Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui
pengertiaan Sunnah
2. Untuk mengetahui macam-macam
Sunnah
3. Untuk mengetahui
periwayataan Sunnah
4. Untuk mengetahui
fungsi Sunnah
5. Untuk mengetahui
kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sunnah
1. Secara etimologi
Makna
kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian
diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.
Sabda rasulullah SAW :
مَنْ
سَنَّ فِى الاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرَهُ وَ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ .
Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang
baik didalam Islam, maka ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang
sesudahnya yang mengamalkannya”. (H.R. Muslim )
2. Secara terminologi
Pengertian
sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu ;
a. Ilmu hadits
Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya.
b. Ilmu ushul fiqhi
Segala
yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.
c. Ilmu fiqhi
Salah
satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala
bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an
dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa
dilakukan dalam pengamalan agama”.
Kata
Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah dirangkaikan
dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama
berdasarkan apa yang disarankan dari Nabi Muhammad SAW”; atau “suatu amaliah
agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah
“bid’ah” yaitu amaliah yang diadakan dalam urusan agama yang belum pernah
dilakukan oleh Nabi.
Sunnah
dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan
sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum
bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang
tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan
ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti arti pada Sunnah sebagaimana
disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama
ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh.
Maksutnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama
fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’.
Kata
“Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering
digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut
pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan
Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata
Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih
banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi
yang hidup dalam pengamalan agama.
B. Macam-macam sunnah
1. Pembagian sunnah dari
segi bentuknya:
a. Sunnah Qauliyyah
Adalah
ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain.
Contoh sunnah qauliyyah:
عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau
bersabda:”Belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
b. Sunnah Fi’liyah
Adalah
semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui
atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain
dengan ucapannya.
Contoh sunnah
fi’liyah:
عَنْ
عَبَّادِ بْنِ تَمِيْمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِيي قَالَ: فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ
ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ تُمَّ صَلَّى
لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia
berkata: “Saya melihat Rasullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan
shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya
membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan
selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua rekaat dengan menjaharkan
bacaannya pada kedua rekaat itu”.
Sunnah
fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Gerak gerik, perbuatan, dan
tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji,
transaksi dagang,tata cara makan dll.
Perbuatan ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk
dari beliau sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari
Al-Qur’an maupun dari sifat perbuatan Rasulullah SAW.
2) Perbuatan yang khusus
berlaku bagi Rasulullah SAW.
Misalnya;
beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud, berkurban,
shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3) Perbuatan dan tingkah laku
Nabi berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti: shalat, puasa, jual beli,
utang piutang, dll.
c. Sunnah
Taqririyah
Adalah
perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh
Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan
diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada dua bentuk:
1) Nabi mengetahui bahwa
perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini
kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan melakukan perbuatan
yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi dalam
bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2) Nabi belum pernah melarang
perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam
hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi
Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat
kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari
kesalahan).
Contoh sunnah taririyyah:
عَنْ
خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُ
ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ
لاَ يَكُنونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ
اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada
Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk
dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”,
maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?”
Beliau menjawab: “Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan
didaerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid
memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.
C. Periwayatan Sunnah
Ketiga
macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah)
disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang
mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriah.
Kekuatan
suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinambungannya khabar
itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan
membukukannya; kuantitas oran yang membawa khabar itu untuk setiap sambungan;
dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia ingatannya, juga
dari segi kejujuran dan keadilannya.
Dari segi
jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga tingkatan:
1. Khabar mutawatir,
yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak kepada
orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu
yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2. Khabar masyhur, yaitu
khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat kemudian disampaikan
kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang banyak
yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3. Khabar ahad, yaitu
khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara perorangan dan
dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara perorangan pula.
Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah:
1. Khabar mutawatir diterima
dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir.
2. Khabar masyhur yaitu
khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perseorangan,
kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3. Khabar ahad diterima
dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan.
Tingkat
kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar masyhur, lalu
barulah khabarahad.
D. Kebenaran khabar
dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam menyampaikan berita
Sebagaimana
telah diuraikan bahwa kebenaran suatu Sunnah Nabi tergantung pada kebenaran
berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu. Tingkat kebenaran
berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari ibarat yang
digunakan pembawa berita itu.
Dalam
hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1. Tingkat yang terkuat,
bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa Nabi bersabda” atau “Nabi
memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu
seperti tentang adanya ucapan nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2. Penyampaian berita
berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang biasa ditemui
dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan berita, tetapi
tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri secara
langsung ucapan Nabi itu.
3. Bila pembawa berita
mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi melaran kami
mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena ditemukan ada dua
kemungkinan dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal pendengarnya terhadap ucapan
Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena seorang pendengar kadang
menganggap sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya bukan suruhan.
4. Pembawa berita
berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau melarang begitu”.
Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan tiga bentuk
sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana terdapat pada
tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau melarang bukan Nabi
secara langsung.
5. Si pembawa berita
berkata bahwa ia melakukansesuatu kemudian ia meng-hubungkan kepada suatu masa
dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang itu. Hal tersebut menjadi
dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.
E. Fungsi Sunnah
Dalam
uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum
dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum
dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian fungsi
Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber
asli bagi hukum fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam
kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan
al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan
menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kiddan taqrir. Dalam
bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam
al-Qur’an.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:
وَ
أَقيموا الصلاة واتوا الز كاة ....
Dan diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2. Memberikan penjelasan
terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
a. Menjelaskan
arti yang masih samar dalam al-Qur’an
b. Merinci
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
c. Membatasi
apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
d. Memperluas
maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3. Menetapkan sesuatu
hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak
ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau
“insya”.
Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu
pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau
memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas.
F. Penjelasaan
Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an.
Pada
dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an dalam
segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang digariskan.
Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana
menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian
penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam
al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Penjelasan
Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an memiliki beberapa bentuk:
1. Nabi memberi
penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh umat sesuai dengan
kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini sesuai dengan pesan Allah.
Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu itu masih sederhana cara
berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu sederhana sehingga mudah
dipahami dan cepat dilaksanakan oleh umat.
2. Nabi memberikan
penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata terdapat
disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dengan
demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan
oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada pada
waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.
G. Sunnah Berdaya Hukum
Dari satu
segi Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi atau yang
diakui Nabi. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah Nabi itu.
Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang
dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan Sunnah menjadi
dua kelompok:
1. Sunnah bukan tasyri atau
Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang tidak harus diikuti dan oleh
karenanya tidak mengikat.
Sunnah
yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a. Ucapan dan perbuatan
Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian Nabi dalam
pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam bertamu , cara berpakaian
dan lain ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang manusia biasa.
b. Ucapan dan perbuatan
Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaulan, seperti:
urusan pertanian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan memelihara ternak.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi
yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan tertentu,
seperti penempatan pasukan, pengaturan barisaan dan penentuan tempat dalam
peperangan.
Semua
yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya hukum
mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja mengikuti apa
yang dilakukan Nabi itu kerena ia adalah Sunnah, namun sifatnya tidak mengikat.
2. Sunnah tasyri atau
Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti. Sunnah dalam bentuk ni
ada tiga macam:
a. Ucapan dan perbuatan yang
muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap
Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-Qur’an masih bersifat
belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang masih
bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan
akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul
termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai
hari kiamat dan dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain
pengetahuan akan adanya sunnah itu.
b. Ucapan dan perbuatan
yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan pemimpin umat Islam,
seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta rampasan, menggunakan bait
al-maal, mengikat perjanjian dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai
pemimpin.
Sunnah tasyri’ dalam
bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya
tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau pemimpin.
c. Ucapan dan
perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang menyelesaikan
persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini, seperti halnya
dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh
perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
Sunnah
berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya mengandung
beberapa bidang sebagai berikut:
a) Aqidah
Sunnah
tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu menimbulkan kepercayaan,
sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti. Tidak ada yang mungkin
menghasilkan keyakinan yangpasti itu kecuali yang pasti pula.
Sunnah
atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya, atau wurudnya maupun
dari segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b) Akhlaq
Dalam
sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab sopan
santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun dalam
bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan
terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut
menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa yang dan
pandangan yang wajar.
c) Hukum-hukum
Amaliyah
Hal ini
berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan mu’amalat antar
manusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; menyelesaikan
persengketaan diantara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah
(dalam bentuk ini) disebut Fiqh Sunnah;sedangkan haditsnya sendiri
disebut Hadits Ahkam.hadits-hadits dalam bentuk inilah yang
dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.
H. Kedudukan Sunnah sebagai
Sumber Hukum
Sunnah
berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang memperluas hukum
dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya
ada 3 hal, yaitu:
1) Sunnah sebagai Ta’kid
(penguat) Al-Qur’an
Hukum
Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran
kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat,
puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2) Sunnah sebagai Penjelas
Al-Qur’an
Sunnah
adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl ayat
44:
وَ
أَنْزَلَ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya:
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk
memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya
mereka berfikir.(Q.S. An-Nahl:44)
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat
dikategorikan menjadi 3 bagian:
a. Penjelasan terhadap
hal yang global.
Seperti
diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan mengenai
rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan
oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى.
Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat
saya shalat.”
b. Penguat secara mutlaq.
Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an.
c. Sunnah sebagai
takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
3) Sebagai Musyar’i (pembuat
syari’at)
Sunnah
tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam
Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan
lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
a. Sunnah
itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b. Sunnah tidak memuat hal-hal
baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada
landasannya dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Sunnah
adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang
lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah dibagi menjadi 3 bagian:
1. Sunnah
Qauliyah
2. Sunnah
Fi’liyyah
3. Sunnah
Taqririyyah
Ketiga
macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah)
disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang
mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriah.
B. SARAN
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu: berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai
kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Fungsi
sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam
al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an.
Kedudukan
Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an, sebagai penjelas
Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010,
Jakarta: Amzah.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 2008,
Jakarta: Kencana.
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008,
Bandung: Pustaka Setia.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 2010,
Bandung: Pustaka Setia.
Saeful Hadi, Ushul Fiqih,2009, Yogyakarta:
Sabda Media


1. ATMOJO DAMARINO
2. DIKKY ANDRIAN
3. IKHWAL FEBRIANSYAH
4. ANISA VIVIANI.L
5. DINI RAMADANIA SARI
6. HARYATI
7. NOVIA APRIANI
8. MARWATI
9. SITI AMINAH
10. TRISKA BUDI L
11. UCI ANGGARAINI
12. WARNI
GURU PEMBIMBING : DEA, S.Pd
PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA OLAHRAGA
SMAN 1 MAKARTI JAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
ucapkan kepada kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua berupa, ilmu dan amal. Berkat rahmat dan karunia-Nya pula,
penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “AS-SUNNAH” yang Insya Alloh
tepat pada waktunya.
Terimakasih penulis
ucapkan kepada Ibu Dea, S.Pd. Guru Mata Pelajaran Pendidikan
Islam, yang telah memberikan arahan terkait tugas makalah ini. Tanpa bimbingan
dari beliau mungkin, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini sesuai
dengan format yang telah di tentukan.
Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah untuk kedepannya.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca
Makarti Jaya, Maret 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i KATA
PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................................... 1
B. Rumusan
masalah................................................................................................................ 1
C. Tujuan Pembelajaran........................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian sunnah................................................................................................................. 2
B. Macam-macam sunnah......................................................................................................... 3
C. Periwayatan Sunnah............................................................................................................. 4
D. Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita
dalam menyampaikan berita..................................................................................................................................... 5
E. Fungsi Sunnah
......................................................................................................................
6
F. Penjelasan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an .......................................................
7
G. Sunnah Berdaya Hukum
......................................................................................................
7
H. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum ......................................................................
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................................11B. Saran.................................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................................
12
iii