Soeharto
1. Identitas Tokoh
Jenderal Besar TNI Purn. H. M.
Soeharto |
Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (O Jawa: Suharta; Jawa Latin: Suhartå; Hanacaraka:ꦯꦸꦲꦂꦠ) (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia
internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto
sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang
Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
2. Keunggulan Tokoh
Presiden Indonesia ke-2
|
|
Masa
jabatan
12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 Pejabat Presiden sampai 27 Maret 1968 |
|
Wakil Presiden
|
Hamengkubuwana IX (1973–78)
Adam Malik (1978–83) Umar W. (1983–88) Sudharmono (1988–93) Try Sutrisno (1993–98) B. J. Habibie (1998) |
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Masa
jabatan
28 Maret 1966 – 17 Oktober 1967 |
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
|
Masa jabatan
17 Oktober 1967 – 28 Maret 1973 |
|
Presiden
|
Soeharto
|
Digantikan oleh
|
|
Masa
jabatan
6 Juni 1968 – 28 Maret 1973 |
|
Presiden
|
Soeharto
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Masa
jabatan
25 Juli 1966 – 17 Oktober 1967 |
|
Presiden
|
Soekarno
Soeharto |
Didahului oleh
|
Soekarno
(Sebagai Perdana Menteri) |
Digantikan oleh
|
Jabatan dihapuskan
|
Informasi
pribadi
|
|
Lahir
|
Soeharto
8 Juni 1921 ![]() |
Meninggal
|
27 Januari 2008 (umur 86)
![]() |
Dimakamkan
|
|
Kebangsaan
|
|
Partai politik
|
|
Suami/istri
|
|
Anak
|
Siti Hardijanti Rukmana (Tutut)[1]
Sigit Harjojudanto (Sigit) Bambang Trihatmodjo (Bambang) Siti Hediati Hariyadi (Titiek) Hutomo Mandala Putra (Tommy) Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) |
Profesi
|
|
Agama
|
|
Tanda tangan
|
|
Dinas
militer
|
|
Dinas/cabang
|
|
Masa dinas
|
1945–1974
|
Pangkat
|
|
Unit
|
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin
militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan
pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin
operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2][3]
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi
menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia
merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan
oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat
ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto
membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.[4][5][6][7] Soeharto juga dianggap membatasi kebebasan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan
dianggap sebagai rezim paling korupsi dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35
miliar.[8] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk.
Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ
multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Pada 8 Juni 1921, Soeharto dilahirkan oleh ibunya,
bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran
itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek
Sukirah, Mbah Kertoirono.
Dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah
digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan
masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah
Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental
yang sangat sulit.[9] Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus
menghadapi talak cerai suaminya, Kertosudiro.
Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak
sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto.
Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan
orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto,
Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto[9]. Pada tahun
1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama
‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto
adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II[9]. Soeharto
kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini
kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto
mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul
dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan
subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah
anak desa.[9]
Ketidakjelasan asal usul Soeharto secara genealogi
sampai sekarang masih belum terpecahkan.[9] Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi
keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa
pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40
hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat
panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya.[9] Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya
memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan
Kertosudiro.[9]
Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai
tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Foto keluarga Soeharto
Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol)
Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto)
dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26
tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Masa kecil dan pendidikan
Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus
bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh
Kertosudiro.[9] Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto di masa SD itu hanya pada ingatannya tentang
kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh
dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak
SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD
yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu
juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.[9]
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama
kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia
delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar
(SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran
ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro
kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto
dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama
Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan
sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan
menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan
agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di
Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi
paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di
sanggar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga
aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden
Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa.
Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang
tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun,
Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang
merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut
setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai
Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali
ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah
itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu
membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke
sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana,
ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak
lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca
pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL
adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi
tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan
karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun
Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
3. Alasan Mengidolakan
1. Dari
keluarga sederhana tetapi mampu memimpin Indonesia
2. Banyak
bintang jasanya
3. Tokoh
nasional maupun internasional
4. Di bawah
kepemimpinannya Indonesia disegani negara lain.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai
siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan
terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, serta
resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas
Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL,
dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor,
dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan
Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari
gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul
atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X
pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan
ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan
pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi
Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari
Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV
Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai
perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui
menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan
di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran Jenderal Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando
AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi
brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia
diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap
sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah
diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai
Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga
mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah
Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang
telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh
Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat
sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S
yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian,
tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto
diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar
untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku
G-30-S/PKI.
Naik ke
kekuasaan[sunting | sunting sumber]
![]() |
Kenetralan sebagian
atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan. Diskusi
terkait dapat ditemukan di the halaman pembicaraan. Tolong
jangan menghapus templat pesan ini hingga kondisi yang diperlukan untuk
melakukan itu terpenuhi.
|
![]() ![]()
Pergantian tampuk pimpinan
pemerintahan Indonesia. |

Pasca terjadinya
Peristiwa G30S, Mayjen TNI Soeharto
mulai masuk ke dalam kabinet. Pada 14 Oktober 1965, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jenderal. Pada
peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.
Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jenderal Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber
mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan
Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965
oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh
Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya
berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima
Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan
tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal
sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada
Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Keputusan yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno,
penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional
dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang
pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara
Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan
Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro-Soekarno dan Komunis,
dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan
dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati
anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan
kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan
menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan
bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan
telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota
kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan
suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh
banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi
tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang
tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa
mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di
militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan
kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar
Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan
menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk
setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto
yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk
sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai
pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang
Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai
presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968,
Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr
Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius
Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat
100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi
Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan
partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR
(Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat
ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki
masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di
dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa.
Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai metampakkan
taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto
melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di
antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik
kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil
presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto
sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap
MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik
Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto
mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga
menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri.
Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto
mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota
Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam
negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu
dalam semua keputusan politik.
Jenderal Soeharto dikatakan meningkatkan
dana militer dan mendirikan dua badan intelijen: Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi
Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat
dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati
(meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis
diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika
rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto.
Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton
dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah
"orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara.
Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang
pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya
yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul
di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom
hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan
inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta
mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka
tidak bisa dimungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto
menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah
politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik
dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai
presiden[sunting | sunting sumber]
Gambar Presiden
Soeharto pada uang pecahan 50.000, salah satu dari sedikit uang yang
menampilkan tokoh yang masih hidup
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim
dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta
Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari
165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian
mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses
mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi
swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan
satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada
rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini
dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,”
kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan
itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi
Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap
swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta
ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton.
Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto
kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil
presiden diserahkan kepada Sudharmono setelah bersaing dengan DR H J NARO SH
Ketua Umum DPP PPP Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang
Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga
berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas
Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan
produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak
terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award,
penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan
langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB,
New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989.
Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di
latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan
organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. “Tanpa kebaikan dan
kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto
di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu.
Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya, Soeharto; Political
Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang amat
penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon
dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim
dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai
negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara
istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi
kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur
Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan
Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991,
Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan
militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR
sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try
Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan
MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi
menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode
ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku
Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya
sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret
1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang
memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai
presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal
dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya
mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi
menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia
menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia
76 tahun (29 September 1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto
menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi
krisis dan meredam oposisi[sunting | sunting sumber]
Krisis moneter yang melanda Asia pada
tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor
krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank
Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu.
Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter
(29 November 1997).
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan
adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto
sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai
wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan
tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya
untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1
Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun
2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia
mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan
kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan
industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998).
Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya.
Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat
kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa
mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei
1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari
jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara
langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode
yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus
oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri.
Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa
Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi
mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan arteri serta berniat datang
ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore,
terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998,
jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing.
Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio,
televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan
suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta)
dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden
Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan
udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk
mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan
serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal
17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat
pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa
mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa
angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery
Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan
(Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan
1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan
Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto membangun dan memperluas konsep
"Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoretis bagi militer untuk memperluas
pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi
kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini
adalah peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan
inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali.
Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam.
Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan
ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan
ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan
mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan
pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya
UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau
peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang
terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi
buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak
lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul
sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh
sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah
Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar,
serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah
mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi
sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.
Puncak Orde
Baru[sunting | sunting sumber]
Pelantikan Presiden
Soeharto.
Pada masa pemerintahannya, Presiden
Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah.
Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan
dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat
yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam
klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan
Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan
keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh
pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri
Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu,
Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada di
bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya,
kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan
pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya
manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat
Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi
juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati
negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto
melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga
partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem
multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab
mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal
Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya,
terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah
"mayoritas tunggal" di mana Golkar dijadikan partai utama dan
"mengebiri" dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilu.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan
pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik
dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan
ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa
kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena
ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa
catatan atas tindakan represif Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena
tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat
persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas
melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui
hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi
sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer
dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan
faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung
kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral
college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU
Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan,
termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara
partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis
digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan
bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan
kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat
atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet.
Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah
tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan
ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan
Amerika Serikat William Cohen pada tahun 1998.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari
anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan
beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya
dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari
tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati
menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan
mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua
Tujuh Juli).
Mundur dari
jabatan presiden[sunting | sunting sumber]

Pada 21 Mei 1998,
setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
![]() |
|
||||
Kesulitan mendengarkan berkas ini? Lihat bantuan.
|
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari
dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden
Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti
pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk tidak
dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara
Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer,
serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B. J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang berlangsung
selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk
korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan
salah satu faktor berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur
IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto.
Sebagaimana dikutip New York Times, Camdesus menyatakan “we created the conditions that obliged President Soeharto Left his
job"[10].
Di Credentials Room, Istana Merdeka,
Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang
terakhir kali, demikian:
“
|
Sejak
beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi
nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang
mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa
serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana
pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak
dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945. Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI. |
”
|
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto
menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah
melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan
presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto,
pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang
turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.
Tak berselang terlalu lama, Menteri
Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan
pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan
aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti
Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil
Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu
berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak
pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni
Pasal 8 UUD 1945.
Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap
berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam
keutuhan bangsa.
Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur
budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan
Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.
Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar
bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang
akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.
Kasus dugaan
korupsi[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi
Soeharto
Setelah Soeharto resmi
mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai
menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang
bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan
adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di
luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib
dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk
mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar
menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak
awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera
mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta
sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di
luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan
Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa
khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan
Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah Time
ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada
pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan
mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan
Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya
Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong
Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus
tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan
dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto
menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain
dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa
pemerintahannya.[11]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan
peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden
Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden
Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak
layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan
tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus perdata[sunting | sunting sumber]
Bagian ini memerlukan pengembangan
|
Peninggalan[sunting | sunting sumber]
Bidang politik[sunting | sunting sumber]
Sebagai presiden
Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah
Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan
dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga
dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste
Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis)
akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa
pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan
keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem
"ABS" atau "Asal Bapak Senang".
Bidang kesehatan[sunting | sunting sumber]
Untuk mengendalikan
jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan
hidup.
Bidang pendidikan[sunting | sunting sumber]
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia.
Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga
miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib
Belajar 9 tahun.
Kematian[sunting | sunting sumber]
Gambar dari majalah Malaysia yang membuat liputan berita mengenai
kemangkatan Soeharto.
Pada Tanggal 27 Januari
2008 Pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah
mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan
Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta[12]. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan
keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat
ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan
Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan
kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa
jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55,
Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah
mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor
Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang
mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul
16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Pemakaman[sunting | sunting sumber]
Jenazah mantan
presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta,
Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[13] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah
akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan
di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul
12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB[14] bersamaan dengan berkumandangnya azan
zuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara
pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang Yudhoyono.
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]
·
"Two former strongmen, Soeharto-Lee Kuan Yew meet again". ANTARA.
22 February 2006. Diakses tanggal 22 February 2006.[pranala nonaktif]
·
"Army
in Jakarta Imposes a Ban on Communists". The New York Times.
19 October 1965.
·
Benedict R. Anderson en Ruth T.McVey, A Preliminary
Analysis of the 1 October 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971).
·
Aspinall,
Ed (October–December 1996). "What happened before the riots?". Inside
Indonesia.
·
"Attorney
general doubts Soeharto can be prosecuted". The Jakarta Post.
27 May 2005.
·
Blum,
William (1995). Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since
World War II. Monroe, Me.: Common Courage Press. ISBN 1-56751-052-3.
·
Camdessus Commends Indonesian Actions. Press Release. International Monetary Fund. (31 October 1997)
·
"CIA Stalling State Department Histories". The
National Security Archive. Diakses tanggal 23 May 2005.
·
Colmey,
John (24 May 1999). "The Family Firm". TIME Asia. Diarsipkan dari versi aslitanggal 2001-02-08.
·
Robert Cribb, "Genocide in
Indonesia,1965–1966". Journal of Genocide Research no.2:219–239, 2001.
·
Elson,
Robert E. (2001). Suharto: A Political Biography. Cambridge,
United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN 0-521-77326-1.
·
Friend,
Theodore (2003). Indonesian Destinies. The Belknap Press of
Harvard University Press. ISBN 0-674-01834-6.
·
"H.AMDT.647 (A003): An amendment to prohibit any funds appropriated
in the bill to be used for military education and training assistance to
Indonesia". THOMAS (Library of Congress). Diakses
tanggal 4 February 2006.
·
"Indonesia: Arrests, torture and intimidation: The Government's
response to its critics". Amnesty International. 27
November 1996. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-13.[pranala nonaktif]
·
"Indonesia Economic". Commanding Heights. Diakses
tanggal 23 May 2005.
·
"Jakarta
Cabinet Faces Challenge". The New York Times. 16 December
1965.
|
·
"Jakarta Leftist Out As Army Chief" New York Times 15 October 1965
·
Koerner,
Brendan (26 March 2004). "How Did Suharto Steal $35 Billion? Cronyism 101". Slate.
Diakses tanggal 4 February 2006.
·
"Jakarta
Cabinet Faces Challenge". The New York Times. 16 December
1965.
·
Lashmar,
Paul and Oliver, James (16 April 2000). "MI6 Spread Lies to Put Killer
in Power". The Independent (UK).
·
Lashmar,
Paul; Oliver, James (1999). Britain's Secret Propaganda War.
Sutton Pub Ltd. ISBN 0-7509-1668-0.
·
McDonald, H., Suharto's Indonesia, Fontana Books, 1980, Blackburn, Australia, ISBN 0-00-635721-0
·
"Public Expenditures, Prices and the Poor". World
Bank. 1993.
·
Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia
since c.1300. 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-333-57690-X
·
John Roosa, Pretext for Mass Murder, The 30
September Movement & Suharto's Coup D'état. The University of Wisconson
Press, 2006. ISBN 978-0-299-22034-1.
·
Simpson,
Brad (9 July 2004). "Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free
Choice"". National Security Archive.
·
Schwarz,
A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview
Press. ISBN 1-86373-635-2.
·
"Suharto tops corruption rankings". BBC
News. 25 March 2004. Diakses tanggal 4 February 2006.
·
"Sukarno Removes His Defense Chief" New York Times 22 February 1966
·
"Tapol Troubles: When Will They End?". Inside
Indonesia. April–June 1999.
·
Toer,
Pramoedya Ananta (2000). The Mute's Soliloquy: A Memoir.
Penguin. ISBN 0-14-028904-6.
·
"United Nations High Commission on Human Rights resolution 1993/97:
Situation in East Timor". United Nations. Diakses
tanggal 4 February 2006.
·
Legacy of Ashes: The History of the CIA, Tim Weiner. Doubleday, New York 2007 (ISBN 978-3-596-17865-0), chapter 15, CIA and Indonesia.
·
Whose Plot?-New light on the 1965 Events, Journal of
Contemporary Asia 9, no.2 (1979):197–215.
|
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ Berger, Marilyn (28 January
2008). "Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and
Bloodshed". The New York Times.
Diakses tanggal 30 January 2008.
2. ^ Ricklefs (1991), p. 288; Friend
(2003), p. 113; Vickers (2005), p. 159; Robert Cribb (2002). "Unresolved
Problems in the Indonesian Killings of 1965-1966". Asian Survey 42 (4): 550–563.
3. ^ Friend (2003), pages 107–109;
Chris Hilton (writer and director). (2001). Shadowplay Television
documentary. Vagabond Films and Hilton Cordell Productions.
</noinclude>; Ricklefs (1991), pages 280–283, 284, 287–290
4. ^ Miguel, Edward; Paul Gertler,
David I. Levine (January 2005). "Does Social Capital Promote
Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer". Econometrics
Softare Laboratory, University of California, Berkeley.
5. ^ McDonald, Hamish (28 January 2008). "No End to Ambition". Sydney
Morning Herald.
6. ^ Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 February 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste,
1974–1999". A Report to the Commission on
Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data
Analysis Group (HRDAG).
7. ^ "Suharto tops
corruption rankings". BBC News. 25 March 2004. Diakses
tanggal 4 February 2006.
8. ^ estimates of government funds
misappropriated by the Suharto family range from US$1.5 billion and US,5
billion.(Ignatius, Adi (11 September 2007). "Mulls Indonesia Court Ruling". Time.
Diakses tanggal 9 August 2009.); Haskin, Colin, "Suharto dead at 86", The Globe
and Mail, 27 January 2008
11. ^ "Suharto tops
corruption rankings". news.bbc.co.uk. 2004-03-25. Diakses
tanggal 2009-02-05.
12. ^ "Jenazah Pak Harto Dibawa ke Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diakses tanggal 2009-02-05.
13. ^ "Pukul 07.30 WIB, Jenazah Soeharto Tinggalkan Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diakses tanggal 2009-02-05.
14. ^ "Jenazah Pak Harto Dimasukkan ke Liang Lahat". detik.com. 2008-01-27. Diakses tanggal 2009-02-05.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
![]() |
Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:
|
![]() |
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel
ini:
|
·
Soeharto di Kepustakaan Presiden Republik
Indonesia
Jabatan politik
|
||
Didahului oleh:
Soekarno |
Presiden Indonesia
1967–1998 |
Diteruskan oleh:
BJ Habibie |
Didahului oleh:
M. Sarbini |
Menteri Pertahanan
Indonesia
1966–1971 |
Diteruskan oleh:
Maraden Panggabean |
Didahului oleh:
Soekarno (Sebagai Perdana Menteri) |
Ketua Presidium
Kabinet Indonesia
1966–1967 |
Diteruskan oleh:
Tidak Ada |
Jabatan militer
|
||
Didahului oleh:
Soedirman |
Panglima ABRI
1968–1973 |
Diteruskan oleh:
Maraden Panggabean |
Didahului oleh:
Ahmad Yani |
Kepala Staf TNI
Angkatan Darat
1966–1968 |
Diteruskan oleh:
Maraden Panggabean |
Jabatan baru
|
Pangkostrad
1963–1965 |
Diteruskan oleh:
Umar Wirahadikusumah |
Jabatan pemerintahan
|
||
Didahului oleh:
Soebandrio |
Kepala Badan Pusat Intelijen
1965–1966 |
Diteruskan oleh:
Yoga Soegomo |
|
Menu navigasi
·
Belum masuk log
·
Halaman
·
Baca
·
Sunting
Pencarian
Komunitas
·
Bantuan
Wikipedia
Bagikan
·
Facebook
·
Twitter
·
Google+
Cetak/ekspor
Dalam proyek lain
Perkakas
Bahasa lain
·
English
·
Español
·
हिन्दी
·
اردو
·
中文
69 lagi
·
Halaman ini terakhir diubah pada 2 Maret
2017, pukul 10.50.
·
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan
mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar