1. Identitas Tokoh |
|||
Lahir
|
|||
Meninggal
|
17 Agustus 1938 (umur 35)
|
||
Kebangsaan
|
Wage Rudolf Supratman (lahir di Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun[1]) adalah
pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan
pahlawan nasional Indonesia.
Ayahnya bernama Joemeno Kartodikromo, seorang tentara
KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti Senen. Wage Rudolf Soepratman adalah anak
ketujuh dari sembilan bersaudara. Roekijem adalah kakak sulung Soepratman. Pada
tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia
disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
2. Keunggulan Tokoh
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah
perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah
ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan
itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia
mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh
pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan
akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah
Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ
tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri
sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang
dipertunjukkan di mes militer. Selain itu
Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat
Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
W.R. Soepratman tidak beristri, serta tidak pernah
mengangkat anak.
Indonesia Raya
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman
memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga
pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di
Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul.
Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu
kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada
tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada
usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres
itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam
penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di
depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo
berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu
Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau
mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional.
Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya
selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak
untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya
dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu,
Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana
kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu
diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai
jatuh sakit di Surabaya. Karena
lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal
Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu
di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya.
Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Kontroversi tempat dan tanggal lahir
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI, diresmikan
sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih
diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada
tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat
ini – selain didukung keluarga Soepratman – dikuatkan keputusan Pengadilan
Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.[2]
Karya
3. Alasan Mengidolakan
1.
Semangat kebangsaannya
sangat tinggi
2.
Karyanya memberi inspirasi
untuk lebih mencintai tanah air
3.
Walaupun berdarah Belanda
namun mencintai Indonesia sebagai tanah airnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar