Senin, 26 Desember 2016

Makalah Berpakaian Sesuai dengan Syariat Islam

BAB.1
PENDAHULUAN

            Berpakaian sesuai syariat islam hukumnya wajib bagi seluruh umat muslim di dunia. Namun budaya berpakaian sesuai syariat islam pun saat ini sudah memudar, anak muda mulai terpengaruh oleh budaya pakaian dari barat. Ironisnya mereka (perempuan) seakan bangga memamerkan lukuk tubuh serta bentuk tubuhnya. Mereka (perempuan) seringkali memamerkan bagian tertentu pada tubuh mereka dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dari oranglain akan indahnya tubuh mereka. Perbuatan tersebut sudah tentu diharamkan oleh agama islam.
          Tentunya kita sebagai umat manusia dan sebagai umat muslim, kita patut menjauhi apa saja yang diharamkan dalam agama islam. Budaya yang bukan termasuk budaya kita seharusnya kita buang jauh-jauh dari hadapan kita. Aurat yang semestinya kita tutup janganlah kita umbar-umbar. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara rinci tentang berpakaian sesuai syariat islam serta azab bagi yang tidak mengikuti ajaran berpakaian sesuai syariat islam. Berikut pembahasannya.















BAB. 2
BERPAKAIAN SESUAI SYARIAT ISLAM
Adab berpakaian adalah sebagai berikut :
1. Pakaian harus menutupi aurat.
2. Pakaian harus bersih dan rapi
3. Untuk laki-laki, agar memakai pakaian yang panjang sampai menutupi aurat
4. Sedangkan wanita, harus menggunakan pakaian yang menutupi anggota tubuhnya keculai wajah dan kedua telapak tangan
5. Para lelaki muslim, haram hukumnya menggunakan sutra dan emas. Oleh karena itu, dilarang bagi lelaki muslim untuk menggunakan barang-barang diatas.sebagaimana sabda Rasulullah bersabda:
     Sesungguhnya dua benda ini (emas dan sutera) haram atas lelaki
ummatku. (H.R.Abu Daud)
6. Dalam islam tidak diperkenankan lelaki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. Karena hal ini dapat menyebabkan “tassabuh”
7. Dalam ajaran islam, hukumnya sunat memakai pakaian dengan diawali bagian kanan
8. Tidak diperkenankan memakai pakaian yang mewah
9. Lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih
10. Hendaklah berpakaian yang rapi dan sopan










BAB. 3
ADAB BERPAKAIAN BAGI MUSLIMAH

Haruskah Hitam?
Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?
Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”(QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.
عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ
Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya.Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)
Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.
Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.
Yang pertama, sabda Nabi,
إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر لونه وخفي ريحه
“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.
Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)
Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.”Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata,“Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)
Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.
Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.
Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.
Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:
Dari Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.
Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah).
Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur(Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).
Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.
Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:
Pakaian yang terdiri dari berbagai Warna warni
Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).
Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:
Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)

Serba Serbi Seputar Warna
Jilbab Putih
Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?”
Jawaban Lajnah Daimah, “Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih.
Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).
Pakaian Perhiasan
Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).
Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah:“Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (’urf ).”
Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.















BAB. 4
ADAB BERDANDAN MENURUT SYARIAT ISLAM
Adab ini adalah amalan yang diamalkan oleh Nabi Yusuf A.S. yang telah diangkatkan darjat dari hamba menjadi seorang pembesar..
Barangsiapa yang mengamalkannya setiap hari dan sebati dalam hidupnya, maka mereka akan sentiasa dipandang manis, berseri dan dikasihi pada setiap mata yang memandangnya. Ia juga merupakan rahsia awet muda dan Insya Allah apa yang dihajati akan tercapai…
Amalan:                                                   
Apabila menghadap cermin bacalah:
1. Selawat 3 X
2. Bismillahirahmanirahim segala puji bagi Allah yang memperbaiki tingkah laku maka perhaluskan budi pekertiku Sentuh muka dengan jari dimulakan dengan
1. Mulut
2. Hidung
3. Mata
4. Dahi
Mulalah bersolek. Setelah selesai Baca Bismillahirahmanirahim
Doa nabi Yusuf (surah Al Baqarah ayat 165) 10X Sambil niat apa yang terjadi sambil merenung ke
1. Mulut
2. Hidung

3. Mata
4. Dagu





BAB. 5
PERBEDAAN ANTARA MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

Jangan Tiru Mereka
Di antara kaedah penting dalam agama kita adalah kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk menyerupai orang kafir baik dalam masalah ibadah, hari raya maupun pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Ini merupakan kaidah penting dalam agama kita yang sudah tidak diindahkan oleh banyak kaum muslimin. Patut diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan benarnya kaidah di atas adalah banyak sekali baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi. Berikut ini adalah di antara ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya kaidah di atas.
Allah berfirman yang artinya, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiah [45]: 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam ayat di atas Allah menceritakan bahwa Dia telah memberikan kenikmatan dunia dan agama untuk Bani Israil, mereka berselisih setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki yang ada di antara mereka. Kemudian Allah jadikan Muhammad berada di atas syariat dan Dia perintahkan agar diikuti. Selanjutnya Allah melarangnya untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. Termasuk ‘orang-orang yang tidak tahu’ adalah semua orang yang menyelisihi syariat beliau. Sedangkan yang dimaksud hawa nafsu mereka adalah semua hal yang mereka inginkan termasuk di antaranya adalah perilaku lahiriah dari orang-orang musyrik yang merupakan konsekuensi dan turunan dari agama mereka yang batil. Itu semua merupakan bagian dari apa yang mereka inginkan.
Mencocoki mereka dalam perilaku lahiriah berarti mengikuti keinginan mereka. Oleh karenanya orang-orang kafir gembira dan bersuka cita ketika kaum muslimin mengikuti sebagian perilaku mereka. Bahkan mereka rela mengeluarkan harta dalam jumlah besar agar peniruan itu terjadi.
Andai meniru perilaku lahiriah orang kafir tidak termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir maka tidak disangsikan lagi bahwa menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah itu lebih memupus kemungkinan terjerumus dalam sikap mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu agar mendapatkan ridho Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu orang kafir. Sesungguhnya meniru orang kafir dalam perilaku lahiriah itu bisa jadi sarana untuk mengikuti orang kafir dalam hal-hal yang lain. Karena siapa yang berani dekat-dekat dengan daerah larangan maka dia akan terjerumus di dalamnya. Dua penjelasan di atas bermuara pada satu titik yang sama yaitu mengikuti perilaku lahiriah orang kafir itu terlarang. Meski penjelasan yang pertama itu lebih tepat.” (al Iqtidha’, hal. 8)
Allah berfirman yang artinya, “Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. ar-Ra’du [13]: 37)
Yang dimaksud dengan hawa nafsu mereka dalam ayat di atas adalah ahzab (kelompok orang kafir) yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an. Sehingga termasuk dalam hal ini semua orang yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an meskipun sedikit baik Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya.
Mengikuti orang kafir dalam hal yang merupakan ciri khas mereka baik terkait dengan agama mereka atau konsekuensi agama mereka adalah termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir. Bahkan karena hal yang lebih remeh lagi seorang bisa dinilai telah mengikuti hawa nafsu orang kafir.
Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid [57]: 16)
“Janganlah kalian seperti orang-orang yang…” dalam ayat di atas merupakan larangan mutlak untuk menyerupai orang-orang kafir ahli kitab. Larangan tersebut secara khusus merupakan larangan untuk menyerupai ahli kitab dalam masalah memiliki hati yang keras. Sedangkan hati yang keras merupakan buah dari berbagai bentuk maksiat.
Tentang ayat ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/310 mengatakan, “Oleh karena itu Allah melarang orang-orang yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai ahli kitab dalam hal-hal pokok ataupun hal-hal yang bersifat rincian meski hanya sedikit.”
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS al Baqarah [2]: 148)
Dalam kitab tafsirnya 1/148, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah larang hamba-hambaNya yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir baik dalam perilaku ataupun dalam kata-kata. Orang-orang Yahudi memiliki perhatian untuk menggunakan kata-kata yang bermakna ganda namun yang mereka maksudkan adalah makna jelek yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Moga Allah melaknat mereka.
Jika mereka ingin mengatakan kepada Nabi, “Dengarkanlah kami” mereka menggunakan kalimat ‘Ro’inaa’ yang bisa bermakna ‘perhatikan kami’ dan bisa bermakna ‘dasar tolol’. Sedangkan sebenarnya makna kedualah yang mereka maksudkan, sebagaimana firman Allah (QS an Nisa’[4]:46.)
Demikian pula terdapat beberapa hadits yang menceritakan ulah mereka. Jika orang-orang Yahudi mengucapkan salam maka yang mereka ucapkan adalah ‘assamu ‘alaikum’ sedangkan makna assamu adalah kematian. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjawab salam mereka dengan mengatakan ‘wa ‘alaikum’. Doa kitalah yang akan terkabul sedangkan doa mereka untuk kita tidak akan terkabul.
Ringkasnya Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang yang kafir baik dalam kata-kata maupun dalam tingkah laku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Qotadah dan yang lainnya menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi suka mengatakan ‘ro’inaa’ kepada Nabi dengan maksud mengejek. Oleh karenanya Allah tidak suka jika orang-orang yang beriman berkata-kata semisal kata-kata orang Yahudi. Qotadah juga mengatakan bahwa orang-orang Yahudi sering berkata kepada Nabi, ‘Ro-’inaa sam’aka’ dengan tujuan mengejek Nabi karena kata-kata tersebut dalam bahasa Yahudi memiliki makna yang buruk.
Uraian di atas menjelaskan bahwa kaum muslimin dilarang mengucapkan kata-kata tersebut karena orang-orang Yahudi suka mengatakannya meski maksud orang Yahudi jelek sedangkan maksud kaum muslimin dengan kata-kata tersebut tidaklah demikian. Karena menyerupai orang-orang Yahudi dalam kata-kata tersebut berarti menyerupai orang-orang kafir dan melapangkan jalan bagi mereka untuk mewujudkan tujuan mereka.” (al Iqtidha’, hal. 22)
Jelaslah dari ayat-ayat di atas bahwa meninggalkan perilaku orang-orang kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan, perkataan dan hawa nafsu mereka termasuk tujuan dan target yang dicanangkan dan diajarkan oleh al-Qur’an. Nabi pun sudah menjelaskan dan merinci hal tersebut kepada umatnya bahkan mempraktekkannya dalam berbagai rincian syariat. Demikian seriusnya Nabi dalam hal ini sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal bersama beliau di kota Madinah merasakan dan mengetahui bahwa Nabi ingin menyelisihi mereka dalam semua ciri khas mereka.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ
“Dari Anas bin Malik, Di antara kebiasaan orang-orang Yahudi jika terdapat seorang perempuan yang dalam kondisi haid maka mereka tidak mau makan bareng bahkan tidak mau satu atap rumah dengan perempuan tersebut. Hal tersebut ditanyakan kepada Nabi lalu turunlah firman Allah yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh…” (QS. al Baqarah [2]: 222). Nabi lantas bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu asal bukan hubungan biologis.” Setelah sabda Nabi ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi maka mereka berkomentar, “Orang ini hanya punya keinginan untuk menyelisihi semua perilaku kita.” (HR Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. 161-165].



BAB. 6
BERJILBAB DAN KASIYATUN’ ARIYATUN
Satu-satunya cara buat kita untuk menjadi berharga adalah dengan berjilbab. Tutup dari rambut sampai kaki! Sesuai pula dengan apa yang Rosululloh jelasin dalam setiap hadits-haditsnya. Pakaian kita punya syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan sebagai “pembungkus khusus”. Penasaran? Kalau gitu yuk langsung masuk ke syarat “pembungkus khusus” gadis mahal ini.
3 syarat utama.
Menutup aurat.
Tidak tembus pandang
Tidak membentuk tubuh
1. Menutup aurat.
Sudah pada tau kan bagian mana saja yang menjadi aurat kita(wanita)? Seluruh tubuh! Kecuali wajah dan telapak tangan.  QS. An nur (24) : 31
 2&3. Tidak tembus pandang dan tidak membentuk tubuh.
Yang dimaksud dengan tidak tembus pandang dan tidak membentuk tubuh ialah pakaian yang benar-benar menutupi selurh tubuh kita tanpa sedikitpun memperlihatkan bagian tubuh kita (dada,likuk tubuh,pinggul). Bisa kita lihat seperti gambar dibawah ini. Mereka memang memakai kerudung,tetapi mereka masih memperlihatkan auratnya.
KASIYATUN’ ‘ARIYATUN
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’
An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.
Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa maknakasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.
Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.
Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)
Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga.Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Ini adalah gambar salahsatu contoh berjilbab yang salah:













BAB. 7
AZAB BUAT PEREMPUAN YANG TIDAK MAU BERHIJAB

Wahai Saudariku, Kami Mengingatkan Sebuah Pesan dari Nabi Kita, Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wassalam tentang Hijab. Jangan Menyesal Kelak di Hari Kiamat, Bila Anda Tidak Mau Membaca dan Ment aati nasehat ini…
1. Azab Buat Perempuan Yang Membuka Rambut Kepalanya selain Suaminya adalah : Rambutnya akan digantung dengan api Neraka Sehingga Mendidih Otaknya Dan ini terjadi sampai berapa lama ia di dunia semasa hidupnya belum menutup rambut kepalanya.
2. Perempuan Yang Suka Berpakaian Seksi dan Menonjolkan dadanya adalah :
“Digantung dengan rantai api neraka dimana dada dan pusatnya diikat dengan api neraka serta betis dan pahanya diberikan panggangan seperti manusia memanggang kambing di dunia dan api neraka ini sangat memedihkan perempuan ini. ”
3. Azab Buat Perempuan Yang Suka Menjadi Penggoda dan Berusaha Menggairahkan Pria lain dengan tubuhnya yang aduhai adalah “PEREMPUAN INI MUKANYA AKAN MENGHITAM DAN MEMAKAN ISI PERUTNYA SENDIRI” ( Hadits Diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim ) Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At Tahriim: 8) gambar membuka aurat walaupun Berkerudung:













BAB. 8
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa adab berpakaian sangatlah di perhatikan, khususnya bagi kaum muslim dan muslimah. Karena itu semua dapat mencerminkan sikap, sifat,dan tingkah laku orang yang mengenakannya.
Pakaian yang sesuai dengan syariat islam adalah pakaian yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW , ada baiknya sebagai kaum muslimin kita mengikuti anjuran dari nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Jauhilah larangan Allah SWT tentang membuka aurat(bagi wanita) jika tidak ingin merasakan azab pedih dari-Nya. Naudzubillah min dzalik,semoga kita tidak termasuk golongan seperti itu.
Demikian makalah ini kami sampaikan. Semoga apa yang disampaikan pada makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf bila ada salah kata maupun salah penyampaian bahasa,karena kesalahan datangnya dari kami dan kebenaran selalu datang dari Allah SWT. Wabillahi’taufik wal hidayah wassalamu’alaikum wr.wb..














BAB. 9
DAFTAR PUSAKA:
(HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)
(HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)
(HR. Bukhari no. 5377)
(HR. Bukhari no. 5823)
(HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).
(Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
(Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
(HR. Bukhari dan Muslim)
(Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
(HR Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. 161-165].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar