BAB.1
PENDAHULUAN
Berpakaian sesuai syariat islam hukumnya wajib bagi seluruh umat muslim di
dunia. Namun budaya berpakaian sesuai syariat islam pun saat ini sudah memudar,
anak muda mulai terpengaruh oleh budaya pakaian dari barat. Ironisnya mereka
(perempuan) seakan bangga memamerkan lukuk tubuh serta bentuk tubuhnya. Mereka
(perempuan) seringkali memamerkan bagian tertentu pada tubuh mereka dengan
tujuan untuk mendapatkan pujian dari oranglain akan indahnya tubuh mereka.
Perbuatan tersebut sudah tentu diharamkan oleh agama islam.
Tentunya kita sebagai umat manusia dan sebagai umat muslim, kita patut menjauhi
apa saja yang diharamkan dalam agama islam. Budaya yang bukan termasuk budaya
kita seharusnya kita buang jauh-jauh dari hadapan kita. Aurat yang semestinya
kita tutup janganlah kita umbar-umbar. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara
rinci tentang berpakaian sesuai syariat islam serta azab bagi yang tidak
mengikuti ajaran berpakaian sesuai syariat islam. Berikut pembahasannya.
BAB.
2
BERPAKAIAN
SESUAI SYARIAT ISLAM
Adab
berpakaian adalah sebagai berikut :
1.
Pakaian harus menutupi aurat.
2.
Pakaian harus bersih dan rapi
3.
Untuk laki-laki, agar memakai pakaian yang panjang sampai menutupi aurat
4. Sedangkan wanita, harus
menggunakan pakaian yang menutupi anggota tubuhnya keculai wajah dan kedua
telapak tangan
5. Para lelaki muslim, haram
hukumnya menggunakan sutra dan emas. Oleh karena itu, dilarang bagi lelaki
muslim untuk menggunakan barang-barang diatas.sebagaimana sabda Rasulullah
bersabda:
Sesungguhnya
dua benda ini (emas dan sutera) haram atas lelaki
ummatku. (H.R.Abu Daud)
ummatku. (H.R.Abu Daud)
6. Dalam islam tidak diperkenankan
lelaki memakai pakaian wanita dan sebaliknya. Karena hal ini dapat menyebabkan
“tassabuh”
7.
Dalam ajaran islam, hukumnya sunat memakai pakaian dengan diawali bagian kanan
8.
Tidak diperkenankan memakai pakaian yang mewah
9.
Lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih
10.
Hendaklah berpakaian yang rapi dan sopan
BAB.
3
ADAB
BERPAKAIAN BAGI MUSLIMAH
Haruskah
Hitam?
Terkait
dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, terdapat beragam sikap orang
yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang
perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di
sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan
motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai
keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini
jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh
kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?
Salah
satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah
perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.”(QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup
larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan”
yang menarik pandangan laki-laki.
عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ
عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا
زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ
Dari
Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang
tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang
binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum
muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan
memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi
durhaka kepada penguasanya.Yang kedua adalah budak laki-laki atau
perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan
demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi
oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu
ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang
mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’,
hal 387)
Sedangkan
tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang
menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib
ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang
masih normal.
Di
samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang
menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat
aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik
tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Meski
demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan
agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian
“perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.
Yang
pertama, sabda Nabi,
إن طيب الرجال ما
خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء
ما ظهر لونه وخفي ريحه
“Wewangian
seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya.
Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak
begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll,
hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)
Hadits
ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang
terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah.
Yang
kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang
berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat
berikut ini:
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ
عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ
عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا
يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari
Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman
bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung
yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya
yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum
pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh
kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)
Dari
Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam
berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang
paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam
seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang
anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke
hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan
tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga
awet, moga awet.”Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi
kemudian berkata,“Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR.
Bukhari no. 5823)
Meski
ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan
membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits
ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam
yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian
tersebut tidak murni berwarna hitam.
Dari
al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang
dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah
8/372, dengan sanad yang shahih)
Pada
tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan
dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.
Perbuatan
Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan
muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian
merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi
yang lewat.
Berikut
ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:
Dari
Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa
istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna
merah.
Dari
Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup
dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah).
Dari
Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang
dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
Dari
Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf
mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup
dengan ‘ushfur(Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah
Muslimah karya al Albani hal. 122-123).
Di
samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna
merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.
Singkat
kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh
dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:
Pakaian
yang terdiri dari berbagai Warna warni
Pakaian
yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang
menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal.
388).
Al
Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan”
yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang
bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan
untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra
terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat
garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki
normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka
keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam
keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus
yang terjadi di mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah
Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
Jika
demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang
keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita
memohon pertolongan).
Meskipun
demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau
cenderung gelap karena itu adalah:
Pakaian
yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah
yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang
tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits
dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan
anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat
burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)
Serba
Serbi Seputar Warna
Jilbab
Putih
Lajnah
Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai
berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan
memakai pakaian berwarna putih?”
Jawaban Lajnah
Daimah, “Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di
hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat
perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh
bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi
seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang
berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai
pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya
merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai
laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah,
2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai
pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak
transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum
ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri
khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan
karena warna putih.
Oleh
karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan
syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan
yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri
khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca:
Jilbab).
Pakaian
Perhiasan
Tepatnya
dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau
ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah
bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal
tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu
masyarakat)” (Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).
Penjelasan
beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu
kaedah:“Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan
syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika
tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (’urf
).”
Misal
pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak
kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena
itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan
dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai
penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam
pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal
menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang
perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka
itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang
berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka
pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang
terlarang.
BAB.
4
ADAB
BERDANDAN MENURUT SYARIAT ISLAM
Adab
ini adalah amalan yang diamalkan oleh Nabi Yusuf A.S. yang telah diangkatkan
darjat dari hamba menjadi seorang pembesar..
Barangsiapa
yang mengamalkannya setiap hari dan sebati dalam hidupnya, maka mereka akan
sentiasa dipandang manis, berseri dan dikasihi pada setiap mata yang
memandangnya. Ia juga merupakan rahsia awet muda dan Insya Allah apa yang
dihajati akan tercapai…
Amalan:
Apabila
menghadap cermin bacalah:
1.
Selawat 3 X
2.
Bismillahirahmanirahim segala puji bagi Allah yang memperbaiki tingkah laku maka
perhaluskan budi pekertiku Sentuh muka dengan jari dimulakan dengan
1.
Mulut
2.
Hidung
3.
Mata
4.
Dahi
Mulalah
bersolek. Setelah selesai Baca Bismillahirahmanirahim
Doa
nabi Yusuf (surah Al Baqarah ayat 165) 10X Sambil niat apa yang terjadi sambil
merenung ke
1.
Mulut
2.
Hidung
3. Mata
4.
Dagu
BAB.
5
PERBEDAAN
ANTARA MUSLIM DENGAN NON MUSLIM
Jangan
Tiru Mereka
Di
antara kaedah penting dalam agama kita adalah kaum muslimin baik laki-laki
maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk menyerupai orang kafir baik dalam
masalah ibadah, hari raya maupun pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Ini
merupakan kaidah penting dalam agama kita yang sudah tidak diindahkan oleh
banyak kaum muslimin. Patut diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan
benarnya kaidah di atas adalah banyak sekali baik dari ayat al-Qur’an maupun
hadits-hadits Nabi. Berikut ini adalah di antara ayat al-Qur’an yang
menunjukkan adanya kaidah di atas.
Allah
berfirman yang artinya, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.
Al-Jatsiah [45]: 18)
Ibnu
Taimiyyah mengatakan, “Dalam ayat di atas Allah menceritakan bahwa Dia telah
memberikan kenikmatan dunia dan agama untuk Bani Israil, mereka berselisih
setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki yang ada di antara
mereka. Kemudian Allah jadikan Muhammad berada di atas syariat dan Dia
perintahkan agar diikuti. Selanjutnya Allah melarangnya untuk mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak tahu. Termasuk ‘orang-orang yang tidak tahu’
adalah semua orang yang menyelisihi syariat beliau. Sedangkan yang dimaksud
hawa nafsu mereka adalah semua hal yang mereka inginkan termasuk di antaranya
adalah perilaku lahiriah dari orang-orang musyrik yang merupakan konsekuensi
dan turunan dari agama mereka yang batil. Itu semua merupakan bagian dari apa
yang mereka inginkan.
Mencocoki
mereka dalam perilaku lahiriah berarti mengikuti keinginan mereka. Oleh
karenanya orang-orang kafir gembira dan bersuka cita ketika kaum muslimin
mengikuti sebagian perilaku mereka. Bahkan mereka rela mengeluarkan harta dalam
jumlah besar agar peniruan itu terjadi.
Andai
meniru perilaku lahiriah orang kafir tidak termasuk mengikuti hawa nafsu orang
kafir maka tidak disangsikan lagi bahwa menyelisihi orang kafir dalam perilaku
lahiriah itu lebih memupus kemungkinan terjerumus dalam sikap mengikuti hawa
nafsu mereka dan lebih membantu agar mendapatkan ridho Allah dengan tidak
mengikuti hawa nafsu orang kafir. Sesungguhnya meniru orang kafir dalam
perilaku lahiriah itu bisa jadi sarana untuk mengikuti orang kafir dalam
hal-hal yang lain. Karena siapa yang berani dekat-dekat dengan daerah larangan
maka dia akan terjerumus di dalamnya. Dua penjelasan di atas bermuara pada satu
titik yang sama yaitu mengikuti perilaku lahiriah orang kafir itu terlarang.
Meski penjelasan yang pertama itu lebih tepat.” (al Iqtidha’, hal. 8)
Allah
berfirman yang artinya, “Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka
setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan
pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. ar-Ra’du [13]: 37)
Yang
dimaksud dengan hawa nafsu mereka dalam ayat di atas adalah ahzab (kelompok
orang kafir) yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an. Sehingga termasuk dalam
hal ini semua orang yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an meskipun sedikit
baik Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya.
Mengikuti
orang kafir dalam hal yang merupakan ciri khas mereka baik terkait dengan agama
mereka atau konsekuensi agama mereka adalah termasuk mengikuti hawa nafsu orang
kafir. Bahkan karena hal yang lebih remeh lagi seorang bisa dinilai telah
mengikuti hawa nafsu orang kafir.
Allah
berfirman yang artinya, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid [57]: 16)
“Janganlah
kalian seperti orang-orang yang…” dalam ayat di atas merupakan larangan
mutlak untuk menyerupai orang-orang kafir ahli kitab. Larangan tersebut secara
khusus merupakan larangan untuk menyerupai ahli kitab dalam masalah memiliki
hati yang keras. Sedangkan hati yang keras merupakan buah dari berbagai bentuk
maksiat.
Tentang
ayat ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/310 mengatakan, “Oleh karena itu Allah
melarang orang-orang yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai ahli kitab dalam
hal-hal pokok ataupun hal-hal yang bersifat rincian meski hanya sedikit.”
Allah
berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan
“dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS al
Baqarah [2]: 148)
Dalam
kitab tafsirnya 1/148, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah larang hamba-hambaNya
yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai
orang-orang kafir baik dalam perilaku ataupun dalam kata-kata. Orang-orang
Yahudi memiliki perhatian untuk menggunakan kata-kata yang bermakna ganda namun
yang mereka maksudkan adalah makna jelek yang terkandung dalam kata-kata
tersebut. Moga Allah melaknat mereka.
Jika
mereka ingin mengatakan kepada Nabi, “Dengarkanlah kami” mereka menggunakan
kalimat ‘Ro’inaa’ yang bisa bermakna ‘perhatikan kami’ dan bisa bermakna ‘dasar
tolol’. Sedangkan sebenarnya makna kedualah yang mereka maksudkan, sebagaimana
firman Allah (QS an Nisa’[4]:46.)
Demikian
pula terdapat beberapa hadits yang menceritakan ulah mereka. Jika orang-orang
Yahudi mengucapkan salam maka yang mereka ucapkan adalah ‘assamu
‘alaikum’ sedangkan makna assamu adalah kematian. Oleh karena itu kita
diperintahkan untuk menjawab salam mereka dengan mengatakan ‘wa ‘alaikum’.
Doa kitalah yang akan terkabul sedangkan doa mereka untuk kita tidak akan
terkabul.
Ringkasnya
Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan
orang-orang yang kafir baik dalam kata-kata maupun dalam tingkah laku.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Qotadah dan yang lainnya menjelaskan
bahwa orang-orang Yahudi suka mengatakan ‘ro’inaa’ kepada Nabi dengan
maksud mengejek. Oleh karenanya Allah tidak suka jika orang-orang yang beriman
berkata-kata semisal kata-kata orang Yahudi. Qotadah juga mengatakan bahwa
orang-orang Yahudi sering berkata kepada Nabi, ‘Ro-’inaa
sam’aka’ dengan tujuan mengejek Nabi karena kata-kata tersebut dalam
bahasa Yahudi memiliki makna yang buruk.
Uraian
di atas menjelaskan bahwa kaum muslimin dilarang mengucapkan kata-kata tersebut
karena orang-orang Yahudi suka mengatakannya meski maksud orang Yahudi jelek
sedangkan maksud kaum muslimin dengan kata-kata tersebut tidaklah demikian.
Karena menyerupai orang-orang Yahudi dalam kata-kata tersebut berarti
menyerupai orang-orang kafir dan melapangkan jalan bagi mereka untuk mewujudkan
tujuan mereka.” (al Iqtidha’, hal. 22)
Jelaslah
dari ayat-ayat di atas bahwa meninggalkan perilaku orang-orang kafir dan
menyerupai mereka dalam perbuatan, perkataan dan hawa nafsu mereka termasuk
tujuan dan target yang dicanangkan dan diajarkan oleh al-Qur’an. Nabi pun sudah
menjelaskan dan merinci hal tersebut kepada umatnya bahkan mempraktekkannya
dalam berbagai rincian syariat. Demikian seriusnya Nabi dalam hal ini
sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal bersama beliau di kota Madinah
merasakan dan mengetahui bahwa Nabi ingin menyelisihi mereka dalam semua ciri
khas mereka.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا
إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ
يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ
شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا
يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ
مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ
“Dari
Anas bin Malik, Di antara kebiasaan orang-orang Yahudi jika terdapat seorang
perempuan yang dalam kondisi haid maka mereka tidak mau makan bareng bahkan
tidak mau satu atap rumah dengan perempuan tersebut. Hal tersebut ditanyakan
kepada Nabi lalu turunlah firman Allah yang artinya, “Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh…” (QS. al Baqarah [2]: 222). Nabi lantas
bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu asal bukan hubungan
biologis.” Setelah sabda Nabi ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi
maka mereka berkomentar, “Orang ini hanya punya keinginan untuk menyelisihi
semua perilaku kita.” (HR Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal.
161-165].
BAB.
6
BERJILBAB
DAN KASIYATUN’ ARIYATUN
Satu-satunya
cara buat kita untuk menjadi berharga adalah dengan berjilbab. Tutup dari
rambut sampai kaki! Sesuai pula dengan apa yang Rosululloh jelasin dalam setiap
hadits-haditsnya. Pakaian kita punya syarat-syarat tertentu untuk bisa
dikatakan sebagai “pembungkus khusus”. Penasaran? Kalau gitu yuk langsung masuk
ke syarat “pembungkus khusus” gadis mahal ini.
3
syarat utama.
Menutup
aurat.
Tidak
tembus pandang
Tidak
membentuk tubuh
1. Menutup
aurat.
Sudah
pada tau kan bagian mana saja yang menjadi aurat kita(wanita)? Seluruh tubuh!
Kecuali wajah dan telapak tangan. QS. An nur (24) : 31
2&3.
Tidak tembus pandang dan tidak membentuk tubuh.
Yang
dimaksud dengan tidak tembus pandang dan tidak membentuk tubuh ialah pakaian
yang benar-benar menutupi selurh tubuh kita tanpa sedikitpun memperlihatkan bagian
tubuh kita (dada,likuk tubuh,pinggul). Bisa kita lihat seperti gambar dibawah
ini. Mereka memang memakai kerudung,tetapi mereka masih memperlihatkan
auratnya.
KASIYATUN’
‘ARIYATUN
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا
النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ
رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Hadits
ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman
kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan
seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau
hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan
zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’
An
Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa
ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.
Makna
pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna
kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan
tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna
ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan
keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi
telanjang.
Makna
keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh
Muslim, 9/240)
Pengertian
yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang
bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai
berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Al
Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun,
“Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang.
Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan
kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau
mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun
enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian,
namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup
sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib
ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal
yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa
maknakasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.
Pertama:
wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.
Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
Kedua:
wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini
sebenarnya telanjang.
Ketiga:
wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya.
(Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)
Kesimpulannya
adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis
sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat
yang wajib dia tutup.
Tidakkah
Engkau Takut dengan Ancaman Ini Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan
tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan
sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau
rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga.Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga.Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Ini
adalah gambar salahsatu contoh berjilbab yang salah:
BAB.
7
AZAB
BUAT PEREMPUAN YANG TIDAK MAU BERHIJAB
Wahai
Saudariku, Kami Mengingatkan Sebuah Pesan dari Nabi Kita, Muhammad Shalallahu
‘Alaihi wassalam tentang Hijab. Jangan Menyesal Kelak di Hari Kiamat, Bila Anda
Tidak Mau Membaca dan Ment aati nasehat ini…
1. Azab Buat Perempuan
Yang Membuka Rambut Kepalanya selain Suaminya adalah : Rambutnya akan
digantung dengan api Neraka Sehingga Mendidih Otaknya Dan ini terjadi sampai
berapa lama ia di dunia semasa hidupnya belum menutup rambut kepalanya.
2. Perempuan Yang
Suka Berpakaian Seksi dan Menonjolkan dadanya adalah :
“Digantung dengan rantai api neraka dimana dada dan pusatnya diikat dengan api neraka serta betis dan pahanya diberikan panggangan seperti manusia memanggang kambing di dunia dan api neraka ini sangat memedihkan perempuan ini. ”
“Digantung dengan rantai api neraka dimana dada dan pusatnya diikat dengan api neraka serta betis dan pahanya diberikan panggangan seperti manusia memanggang kambing di dunia dan api neraka ini sangat memedihkan perempuan ini. ”
3. Azab Buat
Perempuan Yang Suka Menjadi Penggoda dan Berusaha Menggairahkan Pria lain
dengan tubuhnya yang aduhai adalah “PEREMPUAN INI MUKANYA AKAN MENGHITAM
DAN MEMAKAN ISI PERUTNYA SENDIRI” ( Hadits Diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim
) Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka. (QS. At Tahriim: 8) gambar membuka aurat walaupun Berkerudung:
BAB.
8
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
makalah diatas dapat disimpulkan bahwa adab berpakaian sangatlah di perhatikan,
khususnya bagi kaum muslim dan muslimah. Karena itu semua dapat mencerminkan
sikap, sifat,dan tingkah laku orang yang mengenakannya.
Pakaian
yang sesuai dengan syariat islam adalah pakaian yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW , ada baiknya sebagai kaum muslimin kita mengikuti anjuran dari
nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Jauhilah
larangan Allah SWT tentang membuka aurat(bagi wanita) jika tidak ingin
merasakan azab pedih dari-Nya. Naudzubillah min dzalik,semoga kita tidak
termasuk golongan seperti itu.
Demikian
makalah ini kami sampaikan. Semoga apa yang disampaikan pada makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf bila ada salah kata maupun salah
penyampaian bahasa,karena kesalahan datangnya dari kami dan kebenaran selalu
datang dari Allah SWT. Wabillahi’taufik wal hidayah wassalamu’alaikum wr.wb..
BAB.
9
DAFTAR
PUSAKA:
(HR
Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)
(HR.
Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah
lin Nisa’, hal. 387)
(HR.
Bukhari no. 5377)
(HR.
Bukhari no. 5823)
(HR.
Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Jilbab
Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123).
(Fiqh
Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
(Ruhul
Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
(HR.
Bukhari dan Muslim)
(Fatawa
al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
(HR
Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. 161-165].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar