Dr. Cipto Mangunkusumo
1. Identitas Tokoh
Nama : Cipto Mangunkusumo
Tempat/Tgl Lahir : Pecagakan, Jepara/ 4 Maret 1886
Pendidikan Terakhir : Stovia
Nama Orang Tua : Mangunkusimo
Pekerjaan : Guru Bahasa Melayu di
Sekolah dasar di Ambarawa.
2. Keunggulan Tokoh
1. Pandai berbahasa
Belanda
2. Sejak muda suka menulis
3. Aktif dipergerakan
kepemudaan pada masanya hingga bergabung dalam gerakan
Budi Utomo
4. Tulisa- tulisannya
memberi semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan.
3. Alasan Mengidolakan
1. Dari keluarga yang
sederhana, mampu mencapai prestasi yang tinggi karena berkat
keuletan, kegigihan
dan kecerdasanya
2. Sepak terjangnya
menginsppirasi untuk tetap semangat belajar walau kondisi dan
ekonomi kurang mendukung
BIOGRAFI DR CIPTO MANGUNKUSUMO
Nama tokoh ini sangat
terkenal di Indonesia sebagai salah satu pahlawan yang mempunyai andil penting
dalam kebangkitan Indonesia ketika masa kolonial. Cipto Mangunkusumo dilahirkan
pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera tertua dari
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir
Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di
Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang
dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya
tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya,
Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi.
Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif
bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh
beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di
Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.
Ketika menempuh
pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari
teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang
jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaald leerling”, atau murid yang
berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia
Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya.
Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto
lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur.
Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai
surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap
lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia
adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari
tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang
diskriminatif.
Beberapa
Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti
semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian
tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di
Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan
feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi
kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari
wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai
pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak
menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa
digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada
waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah
menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang
kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering
mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber
penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam
masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak
kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib
seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap
tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.
Kondisi kolonial
lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh,
orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu
pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang
misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa.
Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia
menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa
Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat
kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat
bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar
bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.
Tulisan-tulisannya di
harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan
peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat
Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan
sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk
tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus.
Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya.
Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit
yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki
dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas
(penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya
Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan
mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya
yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.
Terbentuknya Budi Utomo
pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan
dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto
semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang
serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum
konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini
sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak
kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis.
Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih
dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya
dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang
tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat
tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh
rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia
tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber
keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat
sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo
yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi
perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan
progesifnya.
Setelah mengundurkan
diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian,
Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya
melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan
memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi
setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk
mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan.
Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan
cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi
Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan
semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto
pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia
kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het
Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu
sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch
Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Pada Nopember 1913,
Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan
tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan
tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera
yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu
komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi
Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite
tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada
Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan
membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang
bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan
mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera
mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan
suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was”
(Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express
Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan
kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia
Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913
keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan
Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite
Bumi Putera.
Selama masa pembuangan
di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi
politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische
Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat
Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah
Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin
tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap
organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya
adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi
informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes
Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep
“Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah
rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka
semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia
Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan
kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak
saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische
Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk
beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan
Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,
kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan
surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada
tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun
1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang
mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai
yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi
Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918
Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan
anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih
melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang
kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan
maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya
dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg
Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan
Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad
sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai
masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu
kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap
Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan
penjajah dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919
Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang
persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa
pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja
sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata
menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan itu,
Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya,
sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920
memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang
tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah
Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap
membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada
Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun
itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau
Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di
Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama tiga tahun Cipto
mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar
kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat
bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun
1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club
diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi
anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai
penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara
pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia
yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa
ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926
dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis.
Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang
karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa
turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu
peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer
pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut
mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan
persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di
Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya
perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan
sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar
10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan
komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto
dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah
memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden
dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto.
Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Dalam pembuangan,
penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada
pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani
suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak
politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda
daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan
pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk
berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar