BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan adalah
proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya
sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui
(objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu
menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam ketahuan aktif.
Lebih lanjut lagi
dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran
internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan
imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar
dan pasti (kepastian, kebenaran). Disini subjek sadar akan hubungan objek
dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan
hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana
persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksistensi tanpa kehadiran
eksistensi itu di dalam dirinya.
Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri
dalam teori pengetahuan diantaranya metode positifisme yang dikeluarkan oleh
August Comte yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi August Comte
2. Teori positifisme August Comte.
3. Penggolongan ilmu pengetahuan menurut August Comte.
4. Perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam beberapa tahap.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi August Comte
Nama lengkap Auguste
Comte (1798-1857) adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier.
Beliau adalah filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam
perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Comte lahir di kota
Montpellier di Perancis selatan dari keluarga kelas menengah konservatif. Comte
menerima didikan ilmiah yang baik di Ecole Polythecnique di Paris, sebuah pusat
pendidikan berhaluan liberal.
Comte mencetuskan
suatu sistem ilmiah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru, yaitu
sosiologi. Pandangan Comte atas sosiologi sangat pragmatis. Ia berpendapat
bahwa sesungguhnya analisis untuk membedakan "statika" dan
"dinamika" sosial , serta analisa masyarakat sebagai suatu sistem
yang saling tergantung haruslah didasarkan pada konsensus. Paradigma
Fungsionalis dan paradigma ilmiah alamiah yang dirumuskan oleh Comte tetap memberi
warna menonjol dalam sosiologi saat ini.
Auguste Comte dengan bukunya
"Course de Philosophie Positive" menerangkan bahwa
pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat harus melalui
urutan-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap
ilmiah.
Auguste Comte disebut sebagai
Bapak Sosiologi karena dialah yang pertama kali memakai istilah sosiologi dan
mengkaji sosiologi secara sistematis, sehingga ilmu tersebut melepaskan diri
dari filsafat dan berdiri sendiri sejak pertengahan abad ke-19 (1856).
B. Teori Positivisme August Comte
Pendiri dan
sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte
(1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang
ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang
mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir
pour privoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia
harus menyelidi gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini
supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Semenjak Hegel dank arena
Hegel muncul “mode” di kalangan para filsuf untuk “meramalkan” perkembangan
dunia sebagaimana dikembangkan oleh Auguste Comte, Karl Marx, Emille Dukheim,
Talcot Parson, Amitai Etzioni van Peursen, Alvin Toffler, John Naisbitt dan
lain-lain.
Filsafat positivsme
Comte disebut juga faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori
berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan
penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan
secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode
positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan
masalah hakikat atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala,
melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Filsafat Auguste
Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep,
prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte.
Comte membagi masyarakat atas “statika sosial” dan “dinamika sosial”. Statika
social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social
adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu
“filsafat sejarah”, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta
individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan
fakta-fakta itu. Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah,
tetapi juga falsafi, religious, atau kultural.
August Comte
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri
memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas
jauh diukur dengan meteran dan lain-lain. Kita juga cukup mengatakan api panas
atau matahari panas, kita juga cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak
panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains
benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung
bukti-bukti empiris yang terukur.
C. Penggolongan Ilmu Menurut August Comte
1. Ilmu pasti (matematika)
Ilmu pasti merupakan
dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang tetap, abstrak dan
pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan melalui ilmu pasti, kita akan
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu hukum ilmu
pengetahuan tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana
abstraksi yang dapat dilakukan akal manusia.
2. Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus
ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan
dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana
bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang, bumi,
matahari, atau planet-planet lainnya.
3. Ilmu alam (fisika)
Ilmu alam merupakan
ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai
benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala organik.
Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak ada dapat difahami
tanpa terlebih dahulu memahami hukum-hukum astronomi. Melalui gejala-gejala
fisika dan hukum fisika, maka akan dapat diramalkan dengan cepat
semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan
atau keadaan tertentu.
4. Ilmu kimia (chemistry)
Gejala-gejala dalam
ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan
dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang
dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi)
dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
5. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat (biologi)
merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan.
Gejala-gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan
perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu
sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia
yang telah berada pada tahap positif. Karena sifatnya yang kompleks, maka cara
pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.
6. Fisika sosial (sosiologi)
Fisika sosial
(sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan.
Fisika social sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang paling
kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan
kehidupan umat manusia dalam berkelompok.
Klasifikasi ilmu
pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat dikemas sebagai
berikut:
A. ILMU PENGETA-HUAN (yang positif)
|
|
Logika (Matematika Murni)
|
|
Ilmu Pengetahuan Empiris
|
|
Astronomi
Fisika
Kimia
Biologi
Sosiologi
|
B. FILSAFAT
|
|
Metafisika
|
|
Pada umumnya
|
|
Filsafat Ilmu Pengetahuan
|
|
Pada khususnya
|
D. Perkembangan ilmu berlangsung melalui beberapa tahap
1. Teologis : -> fantatisme ( primitive)
è Politeisme
è Monotheisme
2. Metafisis
3. Positivisme berdasarkan dengan fakta-fakta, continuity, kepastian dan
kehati-hatian (kecermatan).
Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap
Di antara
karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitivedapat
dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah yang
paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi
bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan
perkembangan manusia.
Menurut Comte,
perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap
teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap
positif.
1. Tahap
Teologis
Pada tahap teologis
ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa
adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa
ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia.
Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran
ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling
bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda
berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan
kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan
adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan
gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).Gejala-gejala
“suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu
sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa
lautan, dewa angin, dan seterusnya.Ketiga, adalah tahapan tertinggi,
dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu
tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada
tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab
pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang
mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap
Metafisik
Tahap ini bisa juga
disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya
hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini
dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian
atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang
bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme
itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat
disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
- Tahap Positif
Pada tahap positif,
orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau
pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak
lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau
melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang
segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan
urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan
“pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian
“menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta
umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun
dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga
tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia,
tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte
menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh
pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran
metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan
perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku
tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh
ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan
tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian
dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu
pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu,
maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte
berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang
disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat
dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan
perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada
kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu
pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana
ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang
positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang
diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam
kenyataan.
Demikianlah
pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya
menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3
tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini
Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada
tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan”
kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip
abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan
metode-metode positif dan ilmiah.
Positivisme Auguste Comte
Filsafat positivisme merupakan salah
satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat
ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang
menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di
sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti
apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta
diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan
semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya,
tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat
dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.
Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu
pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak
metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang
sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan
juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara
fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang
bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini,
kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau
sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive
Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti
memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang
bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
Selanjutnya, karena
agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka
agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan
dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah
pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh
misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam
epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai
masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi
Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna
yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam
kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang
dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat
dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya
yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek
ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik
artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada
penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan
bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya
bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung),
melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara
indrawi.
Dari model pemikiran
tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara
sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable,
dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau
tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi
terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada
kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan
metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik
kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan
verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam
bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat
Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima
fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari
semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang
terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap
untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa
yang akan terjadi.
Filsafat positivisme
Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan
teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin
dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta,
menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja
positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak
setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan
dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat bahwa
(a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial
budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi
yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan
analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu
diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari
pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana
halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut
merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”.
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa
pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga
bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.
Kritik Pemikiran
Positivisme Auguste
Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke
dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis
pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran
manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah
dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek
humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak,
terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan
ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai
terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model
filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan
panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran”
sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik
manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha
menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara
tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber
diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek
melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif.
Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu
pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara
pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap
kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui
jalur konjektur dan refutasi dengan tetap
konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan
Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran”
akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu
seterusnya.
Pandangan mengenai
“kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis
tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama
sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap
suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan
“kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi
manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka
untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti
apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum
ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif,
melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk
menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasimelainkan
melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah
diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti
sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus
dihadapkan dengan pengujian baru
KESIMPULAN
A. Biografi Comte Nama lengkap Auguste Comte (1798-1857) adalah
Isidore Auguste Marie Francois Xavier. Beliau adalah filsuf dan ilmuwan sosial
terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau
sosiologi. Dan menjadi bapak sosiologi.
B. Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism
adalah Auguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya
menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri
dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte
yang terkenal adalah savoir pour privoir (mengetahui supaya
siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidi gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang
akan terjadi.
C. Penggolongan ilmu menurut comte
o Ilmu pasti (matematika)
o Ilmu perbintangan (astronomi)
o Ilmu alam (fisika)
o Ilmu fisika (chemistry)
o Ilmu hayat (biologi)
o Ilmu sosial (sosiologi)
E. Perkembangan ilmu berlangsung melalui beberapa tahap
1. Teologis : -> fantatisme ( primitive)
è Politeisme
è Monotheisme
2. Metafisis
3. Positivisme berdasarkan dengan fakta-fakta, continuity, kepastian dan
kehati-hatian (kecermatan).
DAFTAR PUSTAKA
Mustansir , Rizal, Filsafat
Ilmu (Yogyakarta:Belukar),2001
Bakhtiar,Amsal. Filsafat
Ilmu (Jakarta: tt.)2004
Sumatri, Suila “Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer” (Jakarta, tt)
Sugiharto, Bambang “Post Modernisme
Tentang Bagi Filsafat” (Jogjakarta: pustaka media), 2001
Saidi ,Anas “Metodologi
Penelitian PPLK-LIPI”