Minggu, 29 Januari 2017

Makalah Teologis auguste Comte

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam ketahuan aktif.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kepastian, kebenaran). Disini subjek sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksistensi tanpa kehadiran eksistensi itu di dalam dirinya.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan diantaranya metode positifisme yang dikeluarkan oleh August Comte yang akan dibahas dalam makalah ini.  

B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi August Comte
2.      Teori positifisme August Comte.
3.      Penggolongan ilmu pengetahuan menurut August Comte.
4.      Perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam beberapa tahap.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi August Comte
Nama lengkap Auguste Comte (1798-1857) adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier. Beliau adalah filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Comte lahir di kota Montpellier di Perancis selatan dari keluarga kelas menengah konservatif. Comte menerima didikan ilmiah yang baik di Ecole Polythecnique di Paris, sebuah pusat pendidikan berhaluan liberal.
Comte mencetuskan suatu  sistem ilmiah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru, yaitu sosiologi. Pandangan Comte atas sosiologi sangat pragmatis. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya analisis untuk membedakan "statika" dan "dinamika" sosial , serta analisa masyarakat sebagai suatu sistem yang saling tergantung haruslah didasarkan pada konsensus. Paradigma Fungsionalis dan paradigma ilmiah alamiah yang dirumuskan oleh Comte tetap memberi warna menonjol dalam sosiologi saat ini.
Auguste Comte dengan bukunya "Course de Philosophie Positive" menerangkan bahwa pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah.
Auguste Comte disebut sebagai Bapak Sosiologi karena dialah yang pertama kali memakai istilah sosiologi dan mengkaji sosiologi secara sistematis, sehingga ilmu tersebut melepaskan diri dari filsafat dan berdiri sendiri sejak pertengahan abad ke-19 (1856).
B.     Teori Positivisme August Comte  
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour privoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidi gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Semenjak Hegel dank arena Hegel muncul “mode” di kalangan para filsuf untuk “meramalkan” perkembangan dunia sebagaimana dikembangkan oleh Auguste Comte, Karl Marx, Emille Dukheim, Talcot Parson, Amitai Etzioni van Peursen, Alvin Toffler, John Naisbitt dan lain-lain.
Filsafat positivsme Comte disebut juga faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Filsafat Auguste Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat atas “statika sosial” dan “dinamika sosial”. Statika social adalah teori tentang susunan masyarakat, sedangkan dinamika social adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu “filsafat sejarah”, karena Comte memberikan tempat kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta itu. Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, religious, atau kultural.
August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas jauh diukur dengan meteran dan lain-lain. Kita juga cukup mengatakan api panas atau matahari panas, kita juga cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
C.    Penggolongan Ilmu Menurut August Comte
1.      Ilmu pasti (matematika)
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang tetap, abstrak dan pasti. Dengan metode-metode yang dipergunakan melalui ilmu pasti, kita akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu hukum ilmu pengetahuan tingkat “kesederhanaan dan ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat dilakukan akal manusia.
2.      Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit seperti bintang, bumi, matahari, atau planet-planet lainnya.
3.      Ilmu alam (fisika)
Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala organik. Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak ada dapat difahami tanpa terlebih dahulu memahami hukum-hukum astronomi. Melalui gejala-gejala fisika dan hukum  fisika, maka akan dapat diramalkan dengan cepat semua gejala yang ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu.
4.      Ilmu kimia (chemistry)
Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks daripada ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat (biologi) bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
5.      Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
Ilmu hayat (biologi) merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala-gejala dalam ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu alam, dan ilmu kimia yang telah berada pada tahap positif. Karena sifatnya yang kompleks, maka cara pendekatannya membutuhkan alat yang lebih lengkap.
6.      Fisika sosial (sosiologi)
Fisika sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika social sebagai ilmu berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling konkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalam berkelompok.
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara garis besar dapat dikemas sebagai berikut:

A. ILMU PENGETA-HUAN (yang positif)
Logika (Matematika Murni)
Ilmu Pengetahuan Empiris
Astronomi
Fisika
Kimia
Biologi
Sosiologi
B. FILSAFAT
Metafisika
Pada umumnya
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Pada khususnya
D.    Perkembangan ilmu berlangsung melalui beberapa tahap
1.      Teologis :  -> fantatisme ( primitive)
è Politeisme
è Monotheisme
2.      Metafisis
3.      Positivisme berdasarkan dengan fakta-fakta, continuity, kepastian dan kehati-hatian (kecermatan).
Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap

Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitivedapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
  1. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.

Positivisme Auguste Comte

Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.
Kritik Pemikiran
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasimelainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru




KESIMPULAN


A.    Biografi Comte Nama lengkap Auguste Comte (1798-1857) adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier. Beliau adalah filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Dan menjadi bapak sosiologi.
B.     Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat positivism adalah Auguste Comte (1798-1857). Filsafat Comte anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour privoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidi gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
C.     Penggolongan ilmu menurut comte
o   Ilmu pasti (matematika)
o   Ilmu perbintangan (astronomi)
o   Ilmu alam (fisika)
o   Ilmu fisika (chemistry)
o   Ilmu hayat (biologi)
o   Ilmu sosial (sosiologi)
E.     Perkembangan ilmu berlangsung melalui beberapa tahap
1.      Teologis :  -> fantatisme ( primitive)
è Politeisme
è Monotheisme
2.      Metafisis
3.      Positivisme berdasarkan dengan fakta-fakta, continuity, kepastian dan kehati-hatian (kecermatan).



DAFTAR PUSTAKA


Mustansir , Rizal, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Belukar),2001
Bakhtiar,Amsal. Filsafat Ilmu (Jakarta: tt.)2004
Sumatri, Suila “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” (Jakarta, tt)
Sugiharto, Bambang “Post Modernisme Tentang Bagi Filsafat” (Jogjakarta: pustaka media), 2001
Saidi ,Anas “Metodologi Penelitian PPLK-LIPI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar