BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menafsiri berbagai
syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan syari’at
tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa
memperhatikan adanya bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial
yang baik dalam masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang
baik tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat
baik sesama muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep
musyawarah.
Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang
sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola
kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri
anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang
terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah merupakan suatu landasan
tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia, di mana antara
pemimpin dan rakyat memilki hak yang sama membuat aturan yang mengikat
dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Dalam tulisan ini akan membahas pentingnya konsep
musyawarah yang sangat di tekankan dalam al-Qur’an bahwa konsep Musyawarah
tersebut merupakan tradisi umat muslim pada masa nabi yang harus terus
dilestarikan dalam tatanan kehidupan sekaligus merupakan perintah Allah yang
disampaikan kepada nabi sebagai salah satu landasan syari’ah yang harus tetap
ditegakan. terutama dalam kehidpan moderen saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Musyawarah
2. Ayat-ayat Musyawarah
3. Penjelasan Tafsir Ayat
4. Kontekstualisasi Ayat
C. Tujuan
1. Memenuhi Tugas PAI
2.Mendapatkan referensi ayat-ayat yang menjelaskan tentang
musyawarah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Musayawarah
Akar kata musyawarah
yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah شور yang berarti menampakan sesuatu atau
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang
semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain. Sedangkan
secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari
kata kerja ini adalah asyara(memberi isyarat), tasyawara,
(berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat)
musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain). jadi
Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik,
di sertai dengan menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.
Pengertian ini terdapat
pada tiga tempat dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233,
dalam surat Asy-Syura (26) ayat 38, ayat ini mengandung pujian atas orang
yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat
dengan baik, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian
rizki yang mereka proleh. Bermusyawarah merupkan sifat terpuji bagi orang yang
melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu
bernilai ibadah. ketiga yaitu surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat ini merupkan
perintah bagi nabi SAW, untuk melaksanakan musyawarah, bermusayawarah merupakan
ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.
B. Ayat-ayat Musyawarah
1.
Surat al-Baqoroh ayat
233
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. (
ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4
w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
w §!$Òè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ wur ×qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4
n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºs 3
÷bÎ*sù #y#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã 3
÷bÎ)ur öN?ur& br& (#þqãèÅÊ÷tIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& xsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3
(#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
1.1. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 233
Ayat ini mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal
ini berdasarkan kebolehan dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah
dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan
mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau keyakinan. At-Tasyaawur(musyawarah)
adalah mengeluarkan (mencari) pendapat yang terbaik.
Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah dan al-masyuurah,
seperti al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan istakhrajtuhu artinya
mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dansyawwartuhaa: ajraituhaa,
artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya
adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar artinya
perabot rumah.
Digunakan kata ini
karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarahartinya
penampilan seseorang. Al-isyaarah artinya mengeluarkan apa
yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam ayat ini bertemu dua
kalimat yang mengandung suasana rela dan damai; pertama kalimat Taradhin,
artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat tasyawurin, artinya
bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam kedua kalimat ini
terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di
antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka, memulai musyawarah
bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan
ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami dan
perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan
kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama
terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang
tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai
dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.
Surat Ali-’Imraan ayat 159
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 (
öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym (
ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# (
#sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
2.1. Tafsir Mufrodat
غِلْظُ القَلْب
: (keras hati) adalah ungkapan untuk muka yang selalu masam, tidak peka
terhadap segala keinginan dan kurang memiliki rasa kasih sayang
الفَظُّ
: artinya keras dan kasar
لآنْفَضُّوا
: memisahkan diri
2.2. Asbabul Nuzul Surat Ali-‘Imraan Ayat 159
Ayat ini memiliki hubungan yang erat terhadap peristiwa
Perang Uhud. Pada peristiwa tersebut kaum muslim mengalami kekalahan telak
akibat hilangnya disiplin sebagian tentara Islam terhadap perintah yang telah
di tetapkan nabi. bahkan dalam satu riwayat pada waktu itu Nabi terluka sangat
parah dan giginya rontok. Ayat ini serta beberapa ayat berikunya merupakan
penjelasan tentang sikap dan sifat nabi sebagai leader yang mesti diambil
ketika menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan instruksinya sekaligus sebagai
sugesti dari Allah agar selalu optimis dalam perjuangan.
jadi ayat ini merupakan
ayat leadership dan musyawarah di tengah-tengah keadaan yang sangat darurat
dalam peperangan, nabi tetap mengedepankan hasil keputusan musyawarah bersama
para sahabat tentang bagaimana mensiasati taktik perang di gunung Uhud. Dari
hasil musyawarah tersebut nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun
hasilnya sangat mengecewakan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslim, saat
itulah Rasulullah memutuskan untuk menghapuskan adanya konsep musyawarah. Namun
dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah
tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meskipun terbukti terkadang hasil
keputusan tersebut keliru.
2.3. Tafsir dan Penjelasan Surat Ali-‘Imraan ayat 159
Pertama: Para ulama berkata: “Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya
Allah memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka
terhadap beliau karena telah meninggalkan perintah beliau. Setelah mereka
mendapatkan maaf, Allah memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan
mereka terhadap Allah. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas
untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.
Kedua, Ibnu ‘Athiyah berkata, “ Musyawarah termasuk salah
satu kaidah syariat dan penetapan hukum-hukum. Barang siapa yang tidak
bermusyawarah dengan ulama, maka wajb diberhentikan (jika dia seorang
pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah memuji orang-orang
yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firmannya, وأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka”.
Ketiga, firman Allah,” Dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara menentukan
perkiraan bersama didasari dengan wahyu. Sebab, Allah mengizinkan hal ini
kepada Rasul-Nya. Keempat, tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah,
dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, المُسْتَشَارُ
مُؤْتَمَنٌ “Orang yang diajak
bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya. Kelima, kriteria orang yang
diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki
akal, pengalaman, dan santun kepaa orang yang mengajak bermusyawarah.
Keenam, Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat.
Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan pendapat yang paling dekat
dengan kitabullah dan Sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah telah
menunjukkan kepada sesuatu yang dikehendaki maka hendaklah orang yang
bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal
kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah
memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh, Allah
berfirman, faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah, berarti bahwa kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Qatadah berkata,
“ Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas
suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT.
1.
Surat an-Nisa ayat 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
3.1. Asbabul Nuzul Surat an-Nisa ayat 59
Diriwayatkan oleh Bukhari dengan ringkas dan lain-lain,
yang bersumber dari ‘Ibnu ‘Abbas, akan tetapi menurut Imam ad-Dawudi, riwayat
tersebut menyalah gunakan nama Ibnu ‘Abbas. Dikemukakan bahwa turunnya
ayat ini (Q.S 4 an-Nisa:59) berkenaan dengan Abdullah bin Hudzaifah bin Qais
ketika diutus oleh Nabi SAW, memimpin suatu pasukan.
Di saat ‘Abdullah marah-marah kepada pasukannya, ia
menyalakan api unggun, lalu memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya.
Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke
dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa ‘Abdullah, mengapa ayat
ini dikhususkan untuk menaati ‘Abdullah bin Hudzaifah saja, sedangkan pada
waktu lainnya tidak, dan sekiranya ayat ini turun sesudahnya, maka berdasarkan
hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah didalam hal yang
makruf (kebaikan). Jadi tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa mereka
tidak taat.
3.2. Tafsir Surat an-Nisa ayat 59
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat
manusia, di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk
kepada peraturan. Peraturan Yang maha Tinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang
wajib ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus
Rasul-rasul, dan penutup segala rasul ialah Nabi Muhammad SAW. Rasul-rasul
membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam Kitab-kitab suci, Taurat,
Zabur, Injil dan al-Qur’an.
Maka isi Kitab suci itu semuanya, pokoknya ialah untuk
keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai
tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan manusia
lain. Ummat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab apabila
dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena segan kepada manusia, dan bukan
pula karena semata-mata mengharap keuntungan duniawi. Dan jika dia meninggalkan
berbuat suatu pekerjaan yang tercela, bukan pula karena takut kepada ancaman
manusia.
Kemudian orang yang
beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah
lanjutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati,
tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan. Maka contoh
teladan itu hanya ada pada Rasul. Dan dengan taat kepada rasul barulah sempurna
beragama. Sebab banyak juga orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dia tidak
beragama. Sebab dia tidak percaya kepada Rasul. Kemudian diikuti oleh taat
kepada Ulil-Amri-minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya
orang-orang berkuasa di antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua
arti. Pertama di antara kamu, kedua dari pada kamu. Maksudnya, yaitu mereka
yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui
kekuasaannya, sebagai satu kenyataan.[6]
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berpendapat bahwa maksud munasabah ayat ini disangkut pautkan dengan alasan
turunnya ayat ini karena dalam kisah tersebut disebutkan adanya batasan antara
taat kepada perintah pimpinannya dan menolak perintah untuk terjun ke dalam
api, pada saat itu mereka memerlukan petunjuk berkenaan dengan apa yang harus
mereka lakukan. Ayat ini (Q.S 4:59) turun memberikan petunjuk kepada mereka,
apabila berbantahan hendaklah kembali kepada Allah dan Rasulnya.
1.
Asy-Syura ayat 38
yìÏJàfsù äotys¡¡9$# ÏM»s)ÏJÏ9 5Qöqt 5Qqè=÷è¨B ÇÌÑÈ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.
4.1. Mufrodat Ayat
اسْتَجَابُوا
: Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh sedikit keraguan atau
kebencian.
لِرَبِّهِمْ
: Benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka.
أَمْرُهُمْ
: Amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka.
شُورَى : Mengambil dan
mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan
pendapat yang lain.
4.2. Tafsir Surat as-Syura ayat 38
Ayat di atas menyatakan:
Dan kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar
memenuhi seruan Tuhan mereka melaksanakan shalat secara
bersinambung dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan
khusyu’ kepada Allah, dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka
adalah musyawarah antara mereka yakni mereka memutuskannya melalui
musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan
pendapatnya; dan disamping itu mereka juga dari sebagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka baik harta maupun selainnya, mereka senantiasa
nafkahkan secara tulus serta bersinambung baik nafkah wajib maupun sunnah.
C. Penjelasan Tafsir Ayat
Ayat-ayat di atas adalah
ayat menjelaskan tentang musyawarah yang saling memiliki korelasi, bahwasanya
al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan, baik
mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus
diselesaikan dengan jalan musyawarah. Seperti dalam ayat tentang menyapih anak.
Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan
bersama antara suami dan istri, ayat yang senada dengan ayat tersebut ialah Q.S
at-Thalaq 65:6 وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ
meskipun dengan kata وَأْتَمِرُوا (berembuklah) yang melahirkan kata “Muktamar”.
Sedangkan dalam hal kepemimpinana surat Ali-‘Imraan (3)
ayat 159, ayat yang diperuntukan bagi nabi SAW yang selain sebagai penyampai
risalah, Rasulullah juga memiliki peran legitimasi politik sebagai
seorang imam untuk melaksanakan musyawarah, ayat ini juga sekaligus perintah
yang mensyari’atkan musyawarah. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, dalam
menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT memerintahkan
nabi SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan
supaya mereka mengetahui hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti
jejaknya.
Namun kewajiban
melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga
kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat moderen yang ditandai dengan
munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek
musyawarah, para pemimpinnya di bebani kewajiban melakasanakan musyawarah
dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan masalah yang
mereka hadapi. Al-Qurtubi (W. 9 Syawal
671) seorang mufassir yang menukil dari Ibnu Atiah, menulis: “Musyawarah adalah
salah satu kaidah syara dan ketentuan hukum yang harus
ditegakan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia
tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka ia harus dipecat.
Mengenai objek
musyawarah ini at-Tabari, Fahruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi
berpendapat bahwa yang dimusyawarahkan ialah mengenai segala macam permasalahan
baik itu berkenaan dengan masalah keagamaan dan permasalahan dunia. Sebab untuk
saat ini banyak timbul masalah sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, keluarga
dan sebagainya yang pemecahannya membutuhkan jawaban dari agama. Dengan ayat
tersebut islam menjadikan Syura sebagai prinsip utama dalam
menyelesaikan masalah sosial, politik, dan pemerintahan. Syura merupakan
suatu cara untuk memberi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan yang bersifat mengikat. baik dalam
bentuk hukum dan kebijakan politik.
Selanjutnya Ayat tersebut masih memilki korelasi hubungan
dengan surat an-Nisa ayat 59 yang menjelaskan kewajiban menaati perintah ulil
‘amri, termasuk penguasa dibidang politik, pemerintahan dan negara.
Tetapi di sisi lain Ayat ini juga menjelaskan batasan ketaatan terhadap
‘ulil amri bahwasanya Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin.
Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada
tolak ukur kebenaran dari tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada
tuntunan Allah dan Rasulnya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pimpinan
tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasulnya, boleh dikritik atau
diberi saran agar kembali kepada jalan yang benar dengan cara-cara yang
persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut,
boleh saja tidak untuk dipatuhi. Selain itu ayat ini juga menegaskan bahwa jika
terjadi perselisihaan dalam suatu persoalan antara pimpinan dan bawahan maka
wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Qur’an dan Hadist.
Masalah politik ini
selanjutnya juga berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam sejarah kita
mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden,
kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk
pemerintahan tertentu, melainkan suatu pemerintahan yang mengatur tatanan
kehidupan atas dasar kemanusiaan (kehendak bersama). Sehingga pemerintahan
tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran,
kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat. Oleh karenanya
setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai
seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh warga yang
menghuni suatu negara tersebut.
Dalam ayat lainnya yaitu
dalam surat Asyuura (42):38, yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim
Madinah yang bersedia membela Nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses
musyawarah. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa musyawarah telah menjadi tradisi
masyarakat muslim pada waktu itu dalam memutuskan segala perkara mereka. Menurut
Nurcholis Majid, deskripsi mengenai masyarakat orang-orang beriman, sebagai
masyarakat musyawarah sedemikian mengesankannya bagi orang-orang muslim pertama,sehingga
surat dalam Al-Quran yang memuat deskripsi itu disebut “Surah Syura” atau
Musyawarah.
D. Kontekstualisasi Ayat
Mengacunya Konsep musyawarah sebagai tradisi yang
disyari’atkan di dalam al-Qur’an, salah satunya dalam hal kebijakan
pemerintahan dan politik, dalam surat ‘Ali-‘Imraan ayat 159, bahwa Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya
dalam memecahkan berbagai persoalan. Perintah tersebut tidak hanya dikhususkan
kepada nabi Muhammad tetapi kepada seluruh umatnya yang menjalankan
suatu pemerintahan atau politik dalam suatu negara bahwa landasan dasar
pemerintahan Islam yang ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus adanya
konsep musyawarah di dalamnya.
Dalam sejarah kita
mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden,
kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk
pemerintahan tertentu, oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan
bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan
bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut. Hal
ini sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah yang di kalangan para sarjana
politik (Islam) dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” Piagam Madinah ini, telah
didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H)
dan Muhammad ibn Hisyam (w. 218 H).
Konstitusi ini merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip
kesepakatan kaum Muslim dan Nonmuslim Madinah, di bawah kepemimpinan Rasulullah
SAW, untuk membangun masyarakat politik bersama. Dalam model pemerintah
tersebutlah Rasulullah meletakan salah satu dasar pemerintahan dalam
Islam yaitu musyawarah. Menurut Nurcholis Majid dalam Ensiklopedi Nurcholis
Majid, bunyi naskah ini sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern pun mengagumkan, sebabnya dalam konstitusi itu, untuk pertama
kali dirumuskan gagasan-gagasan yang kini menjadi pandangan hidup modern di
dunia yang terkonsep dalam sistem pemerintahan yakni demokrasi, yang di
dalamnya memuat aturan-aturan adanya kebebasan beragama, hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan, hubungan
ekonomi antar-golongan, dan lain-lain. Ditegaskan juga adanya suatu kewajiban
umum seluruh masyarakat Madinah, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan
bersama menghadapi musuh dari luar.
Sistem Demokrasi yaitu kecenderungan pemerintahan ke
arah sistem politik yang lebih terbuka. bahwa warga negara atau rakyat harus
didengar suaranya dalam proses-proses pengambilan keputusan yang memengaruhi
hidup mereka, bahwa rakyat punya hak untuk tidak diperlakukan secara tidak
adil, bahwa pemerintah harus merespons hajat rakyatnya.
Sistem Demokrasi memiliki tempat sebagai sistem
pemerintahan yang diterima dengan baik di Indonesia karena dalam konsep
Demokrasi tersebut terdapat nilai-nilai yang di ambil dari konstitusi Piagam
Madinah yang dibawa oleh Nurcholis Majid sebagai bentuk penyesuaian dengan
negara Indonesia yang memilki identitas sebagai negara majemuk, di mana sebuah
perbedaan adalah sebuah identitas murni yang di miliki negara Indonesia.
Yakni adanya perbedaan keyakinan, kebudayaan, dan perbedaan strata sosial yang
menuntut adanya kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Iklim kemajemukan tersebut tidak jauh berbeda dengan kota
madinah yang terdiri dari berbagai etnis tetapi dapat hidup berdampingan di bawah
konstitusi Piagam Madinah. Dengan Adanya sistem Demokrasi tersebut landasan
membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan syari’at Islam yakni adanya
aktivitas Syura (Musyawarah) dalam pemerintahan tersebut dapat
terwujud Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat
untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan
ketentraman masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
§ Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia
tersebut adalah شور yang berarti menampakan sesuatu atau
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang
semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.
§ Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata
syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan
mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi
isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta
pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain).
§ Al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam
kebaikan, baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan
politik, harus diselesaikan dengan jalan musyawarah
§ Bahwasanya syura (musyawarah)
merupakan salah satu syari’at Khitobullah yang di perintahkan Allah
kepada Nabi Muhammad dan umatnya.
§ Bahwa landasan dasar pemerintahan Islam yang
ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus adanya konsep musyawarah di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Amrullah, Abdul Malik Abdulkarim, Tafsir Al-Azhar Juz 1,
(Singapura: Kerjaya print Pte Ltd, 2007)
2) Abdul
Ghofur, Waryono, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks,(Yogyakarta:Elsaqpress,
2005)
3)
Armando, Nina M. dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005)
4)
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007)
5)
Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholis Majid, (Jakarta
:Yayasan Abad Demokrasi, 2011)
6)
Nata, Abuddi, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press,
2009)
7)
shihab,Quraish, Al-Misbah jld 12
8)
Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid.2,
[1] Waryono Abdul Ghofur,
Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks,(Yogyakarta:Elsaqpress,
2005)hal. 154
[2] Nina M. Armando
dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005) hal. 329-330
[3]Haji
Abdul Malik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Juz 1, (Singapura:
Kerjaya print Pte Ltd, 2007), hal. 562-563.
[4] Waryono Abdul
Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks… hal.154,
156 [5] Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Jilid 3,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 622-628.
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar
jilid.2, hal. 1276-1277
[7] K.H.Q. Shaleh, H.A.A
Dahlan dkk, Asbabul Nuzul, Latar Belakng Historis Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur’an Edisi ke-2, (Bandung:CV Penerbit Diponogoro, 2002), hal. 146
[8] Quraish
shihab, Al-Misbah jld 12, hal. 511-512
[9] Quraish
shihab, Al-Misbah jilid 12, hal.. 511-513
[10] Waryono Abdul
Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,(Yogyakarta:El-Saq
Press, 2005) hal. 155
[11] Nina M. Armando
dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005) hal. 329-330
[12] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi
Islam,…hal.330
[13] Prof. Dr. H. Abuddi
Nata, M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2009)
hal. 92
[14] Waryono Abdul
Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,…hal. 155
[15] Budhy
Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Majid, (Jakarta :Yayasan
Abad Demokrasi, 2011) hal.209
[16] Prof. Dr. H. Abuddi
Nata, M.A, Metodologi Study Islam,..hal. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar